Menjadi Guru di Papua, Bagaimana Rasanya?
Kembali ke sekolah pun tak ingin
Tapi Tuhan malah menakdirkan saya menjadi bagian dari apa yang tidak pernah saya mimpikan
Menyesal?
Tidak!
Meski sempat terlintas kecewa sebab apa yang sangat saya mimpikan tak diwujudkan Tuhan
Namun alangkah berdosanya saya bila sampai merutuk dan berburuk sangka pada Tuhan atas takdir yang telah Dia tetapkan untuk saya.
Atas mauku yang tak sejalan dengan mau-Nya
Sebab Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Dia tahu semua yang terbaik untuk kita, tidak demikan dengan kita.
Pada akhirnya saya sangat bersyukur atas apa yang ditakdirkan untuk saya meski saya tak pernah memimpikannya
Tetap semangat menjadi guru yang tak sekadar mengajar dan mendidik, namun juga mampu menginspirasi dan memberi teladan yang baik untuk siswa-siswi generasi penerus bangsa
Guru adalah jalan terbaik yang Allah pilihkan untuk saya
Selamat Hari Guru untuk semua guru di Indonesia, wa bil khusus untuk guru-guru yang berada di Kepulaun Yapen.
Serui, 25 November 2016
***
Prolog di atas merupakan catatan kecil yang saya tulis tepat di hari guru tiga tahun silam saat saya masih menyandang status sebagai seorang guru di Serui, Kepulaun Yapen.
Barangkali jika saya menyebutkan Serui atau Kepulaun Yapen, masih banyak pembaca Kamar Kenangan ini yang mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya, kira-kira dimanakah Serui, Kepulauan Yapen itu? Maka, selanjutnya saya sebut saja Papua.
Menjadi Guru di Papua
Foto kenangan saat mengantar beberapa murid saya yang mengikuti seleksi OSN SMP tingkat Kabupaten |
Saya pernah menjadi guru di Papua selama kurang lebih dua tahun. Singkat sekali memang, namun dalam waktu sesingkat itu sudah sejuta kenangan yang tercipta. Sayangnya, nyaris tidak ada kenangan semasa menjadi guru di Papua yang sempat saya abadikan di Kamar Kenangan ini.
Kenapa?
Karena saat itu saya lagi hiatus ngeblog. Boro-boro menulis, tengok Kamar Kenangan ini pun jarang. Padahal lumayan juga postingan yang bisa saya hasilkan ketika bisa merekam semua kenangan saya semasa menjadi guru di Ujung Timur Indonesia.
Nah, karena saya belum pernah merekamnya dan berhubung kita baru saja memperingati Hari Guru saya jadi ingin berbagi sedikit cerita tentang kenangan (baca : pengalaman) saya saat menjadi guru di Papua.
Well, nggak usah heran ya kenapa saya bisa jadi guru di Papua. Asal saya memang dari sana. Saya lahir dan besar di sana. Menempuh pendidikan dari TK hingga SMA pun di sana. Bahkan saya baru menjejakkan kaki di luar tanah Papua selepas lulus SMA. Itu pun hanya dengan tujuan melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi yang ada di Pulau seberang. Otomatis setelah menyandang gelar sarjana saya kembali dong ke tanah kelahiran saya itu. Wong, rumah orang tua saya juga adanya di Papua.
Namun setelah kembali ke Papua bukan berarti saya langsung dapat kerja. Cari kerja di Papua juga nggak mudah, Gaes. Yup banyak yang mengira cari kerja di Papua itu mudah, nggak sama kayak di daerah-daerah lain yang pertumbuhan penduduknya pesat seperti di Jawa atau Sulawesi. Padahal nggak gitu juga.
Eh kalau dulu sih iya, masih agak mudah tapi seiring berlalunya waktu, semakin banyak pendatang yang setelah meraih gelar sarjana merantaunya ke Papua. Alhasil, saingan pun semakin buaanyaaak. Nggak sama kayak lulusan tahun 2000-an awal. Saat itu kalau mau daftar CPNS di Papua, saingannya masih sedikit jadi peluang untuk lulus juga besar. Lain hal dengan lulusan sekira tahun 2010 ke atas. Mau daftar CPNS, saingan sudah buanyak, peluang lulus pun jadi kecil.
FYI, saya lulus kuliah atau tepatnya diyudisium bulan Agustus 2014 dan diwisuda sebulan setelahnya. Setelah wisuda saya nggak langsung cari kerja dan nggak langsung juga pulang ke Papua. Di penghujung tahun 2014 barulah saya balik ke kampung kelahiran saya yang ada di ujung Timur Indonesia itu dan kembali menganggur selama kurang lebih setengah tahun. Jadi kalau dihitung sejak lulus kuliah, ada hampir setahunanlah saya jadi pengangguran. Lumayan lama juga ya, hehe
Sekalinya dapat pekerjaan nggak sesuai dengan jurusan yang saya ampuh. Jurusannya apa, kerjaannya apa. Saya ingat sekali, pertama kali saya dapat tawaran kerja sebagai staff Tata Usaha (TU) di MI Darussalam Serui.
Saya terima pekerjaan tersebut pun bukan karena keinginan sendiri tapi karena orang tua yang ingin sekali lihat anaknya bekerja. Ya, masa' si anak sudah sudah disekolahkan tinggi-tinggi, pulang-pulang kerjaannya di rumah. Saya maklum jika orang tua beranggapan demikian. Lagipula orang tua mana yang tidak ingin anaknya sukses, mandiri dan punya penghasilan sendiri.
Singkat cerita, karena saya bukan dari jurusan administrasi atau TU jadi yang saya rasakan selama bekerja sebagai staff TU lumayan berat juga. Apalagi pas ada job mendata semua siswa yang jumlahnya ribuan. Maa syaa Allaah bikin kepala mumet. Syukurnya pekerjaan ini cuma saya jalani satu setengah bulan.
Setelahnya saya dapat tawaran kerja lagi masih di lingkungan yang sama, hanya saja tingkatannya berbeda. Tawaran kerja kali ini masih lebih mendinganlah daripada berkutat dengan administrasi. Tapi tetap bikin galau. Masalahnya, saya ditawari kerja jadi guru IPS sementara saya ini jurusan Matematika. Halloo, nyambung dimana guru matematika jadi guru IPS.
Benar-benar dilema banget tapi apa boleh buat. Orang tua menghendaki saya harus kerja, saya pun kurang nyaman jadi staff TU, maka tawaran tersebut dengan terpaksa saya terima. Duh, semoga saya nggak sampai menyesatkan anaknya orang, hehe.
Menurut saya, jadi guru IPS itu susah-susah gampang. Materinya itu lho. Alaamaaak, padat bo'. Mana kalau ngajarnya setingkat SMP materinya masih campur aduk antara sejarah, ekonomi, sosial dan geografi. Dan saya kudu mempelajari kembali semua itu. Ok, kalau kayak gini mah masih mending mengajar matematika, gampang-gampang susah, hehe.
Oya setelah beberapa bulan mengajar jadi guru IPS, saya dapat tawaran kerja lagi dari sekolah lain. Sekolah yang satu ini cukup menantang dan saya tidak punya alasan untuk menolak. Apalagi mata pelajaran yang ditawarkan sesuai dengan jurusan yang saya ampuh, yah meski ditambah dengan pelajaran lain.
Menerima tawaran menjadi guru di sekolah ini juga tidak mengharuskan saya keluar dari sekolah yang saya sudah saya tempati mengajar sebelumnya. Nah, ini enaknya jadi guru honorer, bebas mengajar dimana-mana, hehe asal pandai mengatur waktu. Tapi nggak enaknya juga ada. Pastinya kamu sudah pada tahu kan nggak enaknya jadi guru honorer itu apa?
Yup, gaji kecil nggak sebanding dengan gaji guru ASN, lebih-lebih guru yang sudah dapat sertifikasi. Padahal kalau dibandingkan dengan pembagian tugas yang didapat guru ASN dan guru honorer sama saja, sama-sama mengajar, sama-sama bikin perangkat pembelajaran, sama-sama ikut rapat, dll. Ya pokoknya nggak ada bedanya tapi kenapa penghasilan yang didapatkan antara guru ASN dan guru honorer bagaikan langit dan bumi. Kenapa? Sungguh tidak adil.
Eh ini saya ngomong apa sih😅 ya intinya gaji guru honorer dalam sebulan itu kecil,masih jauh lebih besar gaji blogger but honestly saya termasuk tipe guru yang tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Yang penting saya bisa menikmati pekerjaan saya. Toh, percuma juga kalau gaji besar tapi kitanya nggak nyaman, nggak enjoy, nggak hepi. Itu sama saja menyiksa diri.
Lagian masih mending lho penghasilan guru honor di Papua tempat saya bekerja dibanding daerah lain. Saya sudah sering baca berita terkait guru honor yang bahkan tidak dapat gaji sama sekali. Miris, ya? Tapi kalau mau tinggal di Papua dengan mengandalkan penghasilan semata-mata dari gaji honorer juga berat. Biaya hidup di sana tinggi bo'. Kamu mungkin nggak akan sanggup. Eh tapi boleh dicoba, siapa tahu kamu berminat dan ingin mencoba hal baru dengan menjadi guru di Papua.
Eniwei, setelah mengajar di dua sekolah berbeda lagi-lagi saya mendapat tawaran kerja kembali. Lebih tepatnya bukan tawaran sih melainkan kesempatan bekerja sebagai guru matematika di sekolah unggulan dan termasuk bergengsi di kota kelahiran saya. Sekolah tersebut juga yang pernah mewarnai masa putih abu-abu saya.
Tentu, itu kesempatan bagus yang sangat disayangkan jika dilewatkan. Tapi sebelum memutuskan untuk membawa surat lamaran kerja ke sekolah tersebut saya sempat galau. Pasalnya itu sekolah umum, bukan sekolah berbasis Islam seperti dua sekolah yang saya tempati mengajar. Jadi mungkin saja ada aturan yang ketat mengenai seragam guru. Tidak boleh menggunakan kerudung panjang, misalkan.
Sementara penampilan saya, you knowlah semenjak hijrah saya memutuskan untuk mengenakan kerudung yang panjangnya menutupi dada hingga bokong. Dengan penampilan seperti itu apakah bisa saya diterima bekerja di sekolah tersebut? Ah, saya gamang.
Akan tetapi pada akhirnya saya tetap datang membawa surat lamaran kerja dengan lampiran berkas lain yang dibutuhkan ke sekolah tersebut. Hasilnya, tidak lama kemudian saya dapat panggilan diterima sebagai guru di sekolah tempat saya menimba ilmu dulu.
Lalu bagaimana dengan dua sekolah yang saya tempati mengajar sebelumnya? Ya, masih lanjut meski belakangan ada satu sekolah yang terpaksa harus saya lepaskan. Padahal saya sudah merasa nyaman bekerja di sana. Apa boleh buat, jam mengajar saya banyak yang bertabrakan dan saya juga tidak bisa memaksakan diri.
Nah, dari tadi saya cuma singgung sekolah ini, sekolah itu, sekolah anu tanpa menyebutkan dengan jelas nama-nama sekolahnya. Jadi biar lebih jelas dan sebelum memaparkan bagaimana rasanya menjadi guru di Papua, yuk, intip dulu sekolah-sekolah tempat saya mengabdi sewaktu di Papua berikut ini;
Barangkali bagi sebagian besar orang, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah tapi tidak dengan saya. Di mata saya sekolah ibarat penjara, tak heran bila saya begitu bahagia selepas pengumuman kelulusan. Ibarat menikmati kebebasan setelah tiga tahun mendekam di "penjara".
Begitu tidak sukanya saya dengan sekolah dan lingkungannya. Saya bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Bagi saya, guru adalah pekerjaan paling membosankan sedunia. Itulah sebabnya saat mendaftar kuliah, semua jurusan yang berkaitan dengan pendidikan saya hindari sejauh mungkin.
Bukan tanpa alasan, mengapa saya tidak suka dengan dunia sekolah. Saya punya pengalaman buruk semasa menjadi murid. Mulai dari SD hingga SMA, saya kerap jadi korban bullying. Hanya karena saya terlihat lemah, teman-teman yang sok 'berkuasa' itu seenaknya menindas. Jadilah sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan menjelma penjara dalam pikiran saya.
Lantas mengapa saya akhirnya bisa menjadi guru?
Takdir. Yah, saya bisa bilang ini takdir. Allah yang takdirkan saya menjadi guru. Jadi ceritanya saya sempat melakukan satu kekhilafan saat mendaftar di salah satu kampus negeri yang ada di Makassar. Asal memasukkan jurusan pada pilihan kedua. Lagipula mana saya tahu kalau pilihan kedua itu yang bakal lulus. Harapan saya kan pilih pertama yang lulus tapi ternyata yang lulus malah pilihan kedua.
Apakah saya kecewa? Mulanya iya, namun belakangan satu kekhilafan itu malah sangat saya syukuri. Saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Guru bukanlah impian saya. Namun rupanya guru adalah takdir terbaik yang Allah pilihkan untuk saya.
Pada akhirnya saya berhasil menempuh pendidikan guru matematika dan lulus dengan menyandang gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan).
Dan siapa sangka, di antara sekian banyak teman seangkatan, saya-lah yang ditakdirkan menginjakkan kaki kembali ke SMA Negeri 1 Serui, bukan lagi sebagai murid. Pun dikelilingi dengan rekan-rekan kerja yang merupakan guru saya. Maa syaa Allaah, rasanya benar-benar mimpi.
Bersyukurnya lagi, apa yang sempat menjadi kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya bisa bebas masuk dan mengajar di sekolah yang murid dan gurunya mayoritas nasrani ini tanpa harus mengubah penampilan dan memendekkan kerudung saya yang kelebihan bahan.
Senangnya mengajar di sekolah ini karena sesuai dengan jurusan yang saya ampuh. Jadi waktu itu saya baru tahu kalau di kurikulum 2013 pelajaran matematikanya dibedakan menjadi dua. Matematikan IPA dan Matematika umum. Pantesan guru matematika yang dibutuhkan lumayan banyak. Saya sendiri waktu itu diamanahi mengajar matematika umum di kelas X IPA. Kurikulum 2013 ini penjurusannya rupanya sudah dari awal masuk, beda ya dengan zaman kita sekolah dulu. Naik kelas XI baru penjurusan.
Oya selama mengajar di SMA Negeri 1 saya juga cukup terkenal sebagai guru yang disiplin yang walau hujan walau panas terik tetap rajin datang dan masuknya on time, hihi. Padahal aselinya nggak disiplin-disiplin amat sih, haha.
Saking disiplinnya, sampai-sampai kalau lihat saya muncul menuju kelas anak-anak spontan menyanyikan walau badai menghadang entah murid siapa yang memulainya sampai tersebar ke seluruh kelas yang saya ajar, ckck.
Itulah tiga sekolah tempat saya berbagi ilmu semasa di Papua. Tentunya masing-masing sekolah punya kenangannya sendiri. Lantas bagaimana rasaya menjadi Guru di Papua?
Ternyata menjadi guru itu tidak semembosankan yang saya kira dulu. Jadi guru itu asyik dan menyenangkan lho. Saking menyenangkannya , ketika mengajar saya sering merasakan begitu cepatnya waktu berlalu. Satu kali pertemuan bertatap muka rasanya singkat sekali.
Nah, kalau ditanya bagaimana rasanya menjadi guru di Papua. Ya rasanya sama saja seperti kita menjadi guru di daerah lain di luar Papua. Toh, kurikulum yang digunakan sama, kan? Paling yang membedakan lingkungan dan murid-murid yang kita ajar saja.
Karena saya punya pengalaman mengajar di Papua sehingga mayoritas murid-murid yang saya hadapi ya murid-murid asal Papua, kecuali di MTs Darussalam yang muridnya memang rata-rata pendatang dan semua beragama Islam.
Kalau mau dibandingkan anak-anak Papua dan anak-anak pendatang skillnya juga nggak beda jauh. Anak-anak Papua tak kalah cerdas kok, plusnya lagi mereka punya semangat belajar yang tinggi.
Pastinya kamu sudah kenal dong dengan salah satu staff khusus milenial presiden Jokowi dari Papua, Gracia Billy Yoshapat Mambrasar. Nah, Billy merupakan salah satu putra Papua kelahiran Serui, Kepulauan Yapen yang terbilang sukses meski lahir dari keluarga Menengah ke bawah.
Kisahnya dalam menunut ilmu juga inspiratif, bisa menempuh pendidikan ke ITB bahkan sampai ke luar negeri. Anak-anak Papua juga kalau punya jiwa dan karakter kayak pendiri yayasan Kitong Bisa ini, yakni pantang menyerah dan terus berusaha menggapai mimpi pasti bisa juga menempuh pendidikan hingga ke setinggi-tingginya dan kembali ke Papua dengan membawa kesuksesan.
Kecuali kalau murid-murid yang berasal dari Kampung-Kampung atau daerah pedalaman Papua, memang agak tertinggal. Tak heran bila setelah menempuh masa sekolah di SD selama 6 tahun, sebagian besar diantara mereka masih belum bisa baca tulis dan berhitung seperti murid-murid yang pernah saya ajar di SMP Muhammadiyah. Bagaimana nggak buta huruf kalau gurunya saja jarang masuk.
Yup, kondisi pendidikan di pedalaman Papua memang masih jauh dari ideal bila dibanding dengan kondisi pendidikan yang ada di kota. Tidak banyak guru yang mau mengabdikan diri di sana. Meski pemerintah sudah merekrut guru kontrak dan mengirim guru-guru yang terpilih namun masih saja ada guru yang tidak profesional menjalankan tugasnya. Hanya sehari dua hari di Kampung lantas berhari-hari di Kota.
Hal seperti inilah yang membuat anak-anak Papua yang sekolah di Kampung-Kampung tertinggal jauh. Jadi kalau kamu ingin merasakan tantangan berat menjadi guru, jadilah guru di Pedalaman Papua. Kalau cuma jadi guru di Papua apalagi di kotanya mah sama tantangannya kecil.
Walau harus saya akui, profesi guru bukanlah profesi yang mudah. Tugas seorang guru bukan hanya semata-mata mengajar dan mendidik. Lebih dari itu, guru punya tanggung jawab yang besar. Harus bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Pun mampu berperan sebagai pengganti orang tua siswa di rumah. Belum lagi dengan seabreg tugas membuat perangkat pembelajaran dan lain sebagainya.
Apalagi yang mengajar lebih dari satu sekolah seperti saya. Rasa-rasanya waktu dalam sehari 24 jam itu benar-benar tidak cukup. Ah, bicara soal ini bikin saya beneran jadi kangen dengan masa-masa itu. Kangen sekolah. Kangen murid-murid. Kangen Papua. Kangen semua yang ada di sana. But this is my life and life is choice.
Menjadi guru memang takdir terbaik yang Allah pilihkan untuk saya namun saya lebih memilih menjemput takdir saya yang lain. Menjadi ibu rumah tangga.
Jika ada yang bertanya kenapa saya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga ketimbang guru, maka jawaban saya sederhana saja.
Saya tidak pernah bermimpi menjadi guru.
Mimpi saya adalah menjadi ibu rumah tangga. Sesederhana itu.
Lantas ketika saya akhirnya menjadi ibu rumah tangga, saya percaya itu karena takdir sekaligus mimpi yang diwujudkan Tuhan.
Sekian, sharing saya kali ini. Semoga bermanfaat😊
Nah, karena saya belum pernah merekamnya dan berhubung kita baru saja memperingati Hari Guru saya jadi ingin berbagi sedikit cerita tentang kenangan (baca : pengalaman) saya saat menjadi guru di Papua.
Well, nggak usah heran ya kenapa saya bisa jadi guru di Papua. Asal saya memang dari sana. Saya lahir dan besar di sana. Menempuh pendidikan dari TK hingga SMA pun di sana. Bahkan saya baru menjejakkan kaki di luar tanah Papua selepas lulus SMA. Itu pun hanya dengan tujuan melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi yang ada di Pulau seberang. Otomatis setelah menyandang gelar sarjana saya kembali dong ke tanah kelahiran saya itu. Wong, rumah orang tua saya juga adanya di Papua.
Namun setelah kembali ke Papua bukan berarti saya langsung dapat kerja. Cari kerja di Papua juga nggak mudah, Gaes. Yup banyak yang mengira cari kerja di Papua itu mudah, nggak sama kayak di daerah-daerah lain yang pertumbuhan penduduknya pesat seperti di Jawa atau Sulawesi. Padahal nggak gitu juga.
Eh kalau dulu sih iya, masih agak mudah tapi seiring berlalunya waktu, semakin banyak pendatang yang setelah meraih gelar sarjana merantaunya ke Papua. Alhasil, saingan pun semakin buaanyaaak. Nggak sama kayak lulusan tahun 2000-an awal. Saat itu kalau mau daftar CPNS di Papua, saingannya masih sedikit jadi peluang untuk lulus juga besar. Lain hal dengan lulusan sekira tahun 2010 ke atas. Mau daftar CPNS, saingan sudah buanyak, peluang lulus pun jadi kecil.
FYI, saya lulus kuliah atau tepatnya diyudisium bulan Agustus 2014 dan diwisuda sebulan setelahnya. Setelah wisuda saya nggak langsung cari kerja dan nggak langsung juga pulang ke Papua. Di penghujung tahun 2014 barulah saya balik ke kampung kelahiran saya yang ada di ujung Timur Indonesia itu dan kembali menganggur selama kurang lebih setengah tahun. Jadi kalau dihitung sejak lulus kuliah, ada hampir setahunanlah saya jadi pengangguran. Lumayan lama juga ya, hehe
Baca juga Beginikah Rasanya Jadi Pengangguran
Sekalinya dapat pekerjaan nggak sesuai dengan jurusan yang saya ampuh. Jurusannya apa, kerjaannya apa. Saya ingat sekali, pertama kali saya dapat tawaran kerja sebagai staff Tata Usaha (TU) di MI Darussalam Serui.
Saya terima pekerjaan tersebut pun bukan karena keinginan sendiri tapi karena orang tua yang ingin sekali lihat anaknya bekerja. Ya, masa' si anak sudah sudah disekolahkan tinggi-tinggi, pulang-pulang kerjaannya di rumah. Saya maklum jika orang tua beranggapan demikian. Lagipula orang tua mana yang tidak ingin anaknya sukses, mandiri dan punya penghasilan sendiri.
Singkat cerita, karena saya bukan dari jurusan administrasi atau TU jadi yang saya rasakan selama bekerja sebagai staff TU lumayan berat juga. Apalagi pas ada job mendata semua siswa yang jumlahnya ribuan. Maa syaa Allaah bikin kepala mumet. Syukurnya pekerjaan ini cuma saya jalani satu setengah bulan.
Setelahnya saya dapat tawaran kerja lagi masih di lingkungan yang sama, hanya saja tingkatannya berbeda. Tawaran kerja kali ini masih lebih mendinganlah daripada berkutat dengan administrasi. Tapi tetap bikin galau. Masalahnya, saya ditawari kerja jadi guru IPS sementara saya ini jurusan Matematika. Halloo, nyambung dimana guru matematika jadi guru IPS.
Benar-benar dilema banget tapi apa boleh buat. Orang tua menghendaki saya harus kerja, saya pun kurang nyaman jadi staff TU, maka tawaran tersebut dengan terpaksa saya terima. Duh, semoga saya nggak sampai menyesatkan anaknya orang, hehe.
Menurut saya, jadi guru IPS itu susah-susah gampang. Materinya itu lho. Alaamaaak, padat bo'. Mana kalau ngajarnya setingkat SMP materinya masih campur aduk antara sejarah, ekonomi, sosial dan geografi. Dan saya kudu mempelajari kembali semua itu. Ok, kalau kayak gini mah masih mending mengajar matematika, gampang-gampang susah, hehe.
Oya setelah beberapa bulan mengajar jadi guru IPS, saya dapat tawaran kerja lagi dari sekolah lain. Sekolah yang satu ini cukup menantang dan saya tidak punya alasan untuk menolak. Apalagi mata pelajaran yang ditawarkan sesuai dengan jurusan yang saya ampuh, yah meski ditambah dengan pelajaran lain.
Menerima tawaran menjadi guru di sekolah ini juga tidak mengharuskan saya keluar dari sekolah yang saya sudah saya tempati mengajar sebelumnya. Nah, ini enaknya jadi guru honorer, bebas mengajar dimana-mana, hehe asal pandai mengatur waktu. Tapi nggak enaknya juga ada. Pastinya kamu sudah pada tahu kan nggak enaknya jadi guru honorer itu apa?
Yup, gaji kecil nggak sebanding dengan gaji guru ASN, lebih-lebih guru yang sudah dapat sertifikasi. Padahal kalau dibandingkan dengan pembagian tugas yang didapat guru ASN dan guru honorer sama saja, sama-sama mengajar, sama-sama bikin perangkat pembelajaran, sama-sama ikut rapat, dll. Ya pokoknya nggak ada bedanya tapi kenapa penghasilan yang didapatkan antara guru ASN dan guru honorer bagaikan langit dan bumi. Kenapa? Sungguh tidak adil.
Eh ini saya ngomong apa sih😅 ya intinya gaji guru honorer dalam sebulan itu kecil,
Lagian masih mending lho penghasilan guru honor di Papua tempat saya bekerja dibanding daerah lain. Saya sudah sering baca berita terkait guru honor yang bahkan tidak dapat gaji sama sekali. Miris, ya? Tapi kalau mau tinggal di Papua dengan mengandalkan penghasilan semata-mata dari gaji honorer juga berat. Biaya hidup di sana tinggi bo'. Kamu mungkin nggak akan sanggup. Eh tapi boleh dicoba, siapa tahu kamu berminat dan ingin mencoba hal baru dengan menjadi guru di Papua.
Eniwei, setelah mengajar di dua sekolah berbeda lagi-lagi saya mendapat tawaran kerja kembali. Lebih tepatnya bukan tawaran sih melainkan kesempatan bekerja sebagai guru matematika di sekolah unggulan dan termasuk bergengsi di kota kelahiran saya. Sekolah tersebut juga yang pernah mewarnai masa putih abu-abu saya.
Tentu, itu kesempatan bagus yang sangat disayangkan jika dilewatkan. Tapi sebelum memutuskan untuk membawa surat lamaran kerja ke sekolah tersebut saya sempat galau. Pasalnya itu sekolah umum, bukan sekolah berbasis Islam seperti dua sekolah yang saya tempati mengajar. Jadi mungkin saja ada aturan yang ketat mengenai seragam guru. Tidak boleh menggunakan kerudung panjang, misalkan.
Sementara penampilan saya, you knowlah semenjak hijrah saya memutuskan untuk mengenakan kerudung yang panjangnya menutupi dada hingga bokong. Dengan penampilan seperti itu apakah bisa saya diterima bekerja di sekolah tersebut? Ah, saya gamang.
Akan tetapi pada akhirnya saya tetap datang membawa surat lamaran kerja dengan lampiran berkas lain yang dibutuhkan ke sekolah tersebut. Hasilnya, tidak lama kemudian saya dapat panggilan diterima sebagai guru di sekolah tempat saya menimba ilmu dulu.
Lalu bagaimana dengan dua sekolah yang saya tempati mengajar sebelumnya? Ya, masih lanjut meski belakangan ada satu sekolah yang terpaksa harus saya lepaskan. Padahal saya sudah merasa nyaman bekerja di sana. Apa boleh buat, jam mengajar saya banyak yang bertabrakan dan saya juga tidak bisa memaksakan diri.
Nah, dari tadi saya cuma singgung sekolah ini, sekolah itu, sekolah anu tanpa menyebutkan dengan jelas nama-nama sekolahnya. Jadi biar lebih jelas dan sebelum memaparkan bagaimana rasanya menjadi guru di Papua, yuk, intip dulu sekolah-sekolah tempat saya mengabdi sewaktu di Papua berikut ini;
MTs Darussalam Serui
Foto kenangan saat mengajar murid-murid saya di MTS Darussalam Serui |
Meski mayoritas penduduk di tanah kelahiran saya beragama nasrani, bukan berarti tidak ada sekolah Islam sama sekali. Kalau dihitung-hitung dari TK hingga tingkat SMA/SMK lumayan juga sekolah berbasis Islam yang ada di sana. Salah satunya yang tertua adalah Madrasah di bawah yayasan Darussalam Serui.
Waktu saya masih kecil Madrasah yang dibangun di Yayasan Darussalam ini baru sebatas TK Darussalam Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Sekarang jenjang Madrasahnya sudah lengkap dengan dibangunnya Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
Saya sendiri sempat dua tahun mengajar di MTS Darussalam serui, dari tahun ajaran 2015/2016 hingga tahun ajaran 2016/2017. Coba tebak saya ngajar mata pelajaran apa di sekolah ini?
That's right, Ilmu Pengetahuan Sosial. (IPS). Belakangan dikasih tugas juga untuk ngajar akidah akhlak. Nggak nyambung banget sih dengan basic saya yang dari eksak. Sempat merasa bersalah juga kenapa saya harus menerima pekerjaan yang nggak sesuai dengan ilmunya saya. Ini nih contoh guru yang nggak profesional. Please jangan ditiru yaak.
Rasanya pengen mengundurkan diri saja tapi masalahnya, saya terlanjur nyaman mengajar di sini. Nyaman dengan lingkungannya yang hangat. Nyaman dengan rekan kerjanya yang friendly. Nyaman dengan murid-muridnya yang kocak.
Bahkan sebagaian murid perempuan di MTs juga cukup lengket dengan saya, saking lengketnya, mereka tak sering curhat ke saya *oalah. Mungkin karena saya guru termuda di MTs kali ya jadi anak-anak juga cepat dekat dengan saya. Apalagi status saya waktu itu masih single. Bayangkan, mereka sampai menawarkan diri mau carikan gurunya ini jodoh, haha dasar anak-anak.
Bahkan sebagaian murid perempuan di MTs juga cukup lengket dengan saya, saking lengketnya, mereka tak sering curhat ke saya *oalah. Mungkin karena saya guru termuda di MTs kali ya jadi anak-anak juga cepat dekat dengan saya. Apalagi status saya waktu itu masih single. Bayangkan, mereka sampai menawarkan diri mau carikan gurunya ini jodoh, haha dasar anak-anak.
SMP Muhammadiyah Serui
Selanjutnya sekolah di bawah naungan organisasi Muhammadiyah. Boleh dibilang mengajar di sekolah ini tantangannya paling berat. Bagaimana tidak berat bila murid-murid yang saya hadapi kebanyakan masih buta huruf dan juga tidak pandai berhitung. Duh, ya ampun.
Tapi saya sungguh salut dengan semangat dan optimis pak Harianto (yang saat itu baru ditunjuk sebagai kepala sekolah menggantikan kepala sekolah sebelumnya) dalam membangun SMP Muhammadiyah Serui. Beliaulah yang menawari saya untuk mengajar di sekolah ini. Pertimbangan beliau memilih saya untuk mengabdi di sekolah ini karena saya merupakan kader Muhammadiyah.
Yah, saya memang kader Muhammadiyah yang waktu sekolah aktif di IPM, pas kuliah aktif di IMM tapi selepas itu saya nggak aktif lagi di organisasi ortonom Muhammadiyah. Kekaderan saya seharusnya dipertanyakan. Seharusnya sebagai kader saya bisa berbuat sesuatu yang lebih, seperti menghidupkan kembali IPM di Kota Serui yang sudah lama mati suri, melanjutkan jenjang kekaderan ke Naisyiatul Aisyah dan lain sebagai tapi apa yang saya lakukan?
Eksistensi saya sebagai kader malah meredup. Saya merasa tidak layak dipilih sebagai guru di SMP Muhammadiyah hanya karena saya pernah aktif di organisasi ortonom Muhammadiyah. Saya belum melakukan banyak hal untuk Muhammadiyah. Apalagi selama ini yang saya tanamkan dalam benak adalah petuah dari Sang Pendiri, KH Ahmad Dahlan
"Hidup-Hidupilah Muhammadiyah, Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah"
Oke kalau saya bahas lebih lanjut tentang Muhammadiyah, postingan ini bakal melebar kemana-mana jadi kita skip saja ya.
Back to the topic, jadi SMP Muhammadiyah ini diserahkan ke pak Harianto selaku kepala sekolah yang baru dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Boleh dibilang SMP Muhammadiyah termasuk sekolah buangan. Pasalnya murid-murid yang masuk di sekolah ini adalah murid-murid yang tidak diterima di sekolah tempat mereka daftar sebelumnya. Ibaratnya SMP Muhammadiyah menjadi pilihan sekolah terakhir bagi mereka, yah daripada tidak sekolah sama sekali.
Mirisnya lagi, sekolah yang berada di bawah naungan Muhammadiyah ini justru didominasi oleh murid-murid mereka yang beragama nasrani. Sebaliknya, murid-murid yang beragama Islam hanya segelintir.
Bahkan kebanyakan murid-murid yang daftar di sekolah ini berasal dari kampung-kampung dengan skill yang sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Baca tulis saja tidak tahu. Lebih-lebih berhitung. Jangankan kali-kali, tambah kurang pun belum mahir. Entah apa yang mereka pelajari selama enam tahun bersekolah di Kampung.
Duh mengenaskan sekali ya, lebih mengenaskan lagi karena pihak sekolah tidak punya pilihan untuk menolak siswa-siswa tersebut, yah daripada tidak mendapatkan murid sama sekali.
Begitulah kira-kira gambaran SMP Muhammadiyah saat diserahkan ke Pak Harianto dan saat saya bergabung menjadi tenaga pendidik di SMP Muhammadiyah pada tahun ajaran 2015/2016. Butuh perjuangan ekstra saat mengajar murid-murid dengan kemampuan setingkat anak SD itu, lebih parah dari anak SD malah. Anak SD kelas 1 saja banyak yang sudah bisa membaca lha anak-anak yang saya hadapi ini sudah duduk di bangku SMP dan masih belum tahu membaca. Pertama kali tahu kondisi mereka rasanya bikin saya pengen nangus di pojokan denga. Saya ngajarnya saja sampai ngos-ngosan.
Sayangnya, kebersamaan saya dengan SMP Muhammadiyah berlangsung singkat karena tidak lama setelah saya diterima menjadi guru matematika di sekolah tempat saya menuntut ilmu dulu, pak Harianto merelakan saya untuk keluar. Jujur, saya pun tidak sanggup mengajar di tiga sekolah sekaligus, apalagi dengan jadwal mengajar yang padat.
Akhirnya saya melepaskan SMP Muhammadiyah dengan berat hati. Waktu itu kondisinya masih memprihatinkan tapi lihatlah sekarang. Semangat dan optimis pak Harianto telah berbuah manis. Sekolah yang dianggap buangan itu kini telah maju dan bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Sekolah yang dulunya hanya menjadi pilihan terakhir itu kini masuk menjadi pilihan utama orang tua yang anaknya baru lulus SD. Kini, murid-muridnya juga sudah didominasi pendatang dan beragama Islam even SMP Muhammadiyah Serui tetap menerima murid-murid asal Papua yang beragama nasrani.
Fyi, adik saya juga melanjutkan sekolahnya di sekolah ini lho. Alhamdulillaah baru beberapa waktu lalu dia dan rombongan membawa pulang satu medali emas dari Olympic Ahmad Dahlan VI yang berlangsung tanggal 25-30 Oktober 2019 kemarin di Semarang. Sebelumnya SMP Muhammadiyah juga sudah pernah meraih olimpiade emas dalam ajang lomba robotik pada tahun 2017 lalu yang berlangsung di Cilacap.
Silakan baca Kisah Inspiratif ini Perjuangan Tak Pernah Lelah Guru SMP Muhammadiyah Serui
SMA Negeri 1 Serui
foto kenangan Hari Guru tahun 2016 (Karya murid SMA Negeri 1 Serui) |
Tahun 2010 silam saya lulus dari sekolah ini. Dan tahu tidak apa yang sempat terbersit di benak saya kala itu. Saya tidak ingin kembali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Barangkali bagi sebagian besar orang, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah tapi tidak dengan saya. Di mata saya sekolah ibarat penjara, tak heran bila saya begitu bahagia selepas pengumuman kelulusan. Ibarat menikmati kebebasan setelah tiga tahun mendekam di "penjara".
Begitu tidak sukanya saya dengan sekolah dan lingkungannya. Saya bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Bagi saya, guru adalah pekerjaan paling membosankan sedunia. Itulah sebabnya saat mendaftar kuliah, semua jurusan yang berkaitan dengan pendidikan saya hindari sejauh mungkin.
Bukan tanpa alasan, mengapa saya tidak suka dengan dunia sekolah. Saya punya pengalaman buruk semasa menjadi murid. Mulai dari SD hingga SMA, saya kerap jadi korban bullying. Hanya karena saya terlihat lemah, teman-teman yang sok 'berkuasa' itu seenaknya menindas. Jadilah sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan menjelma penjara dalam pikiran saya.
Lantas mengapa saya akhirnya bisa menjadi guru?
Takdir. Yah, saya bisa bilang ini takdir. Allah yang takdirkan saya menjadi guru. Jadi ceritanya saya sempat melakukan satu kekhilafan saat mendaftar di salah satu kampus negeri yang ada di Makassar. Asal memasukkan jurusan pada pilihan kedua. Lagipula mana saya tahu kalau pilihan kedua itu yang bakal lulus. Harapan saya kan pilih pertama yang lulus tapi ternyata yang lulus malah pilihan kedua.
Apakah saya kecewa? Mulanya iya, namun belakangan satu kekhilafan itu malah sangat saya syukuri. Saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Guru bukanlah impian saya. Namun rupanya guru adalah takdir terbaik yang Allah pilihkan untuk saya.
Pada akhirnya saya berhasil menempuh pendidikan guru matematika dan lulus dengan menyandang gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan).
Dan siapa sangka, di antara sekian banyak teman seangkatan, saya-lah yang ditakdirkan menginjakkan kaki kembali ke SMA Negeri 1 Serui, bukan lagi sebagai murid. Pun dikelilingi dengan rekan-rekan kerja yang merupakan guru saya. Maa syaa Allaah, rasanya benar-benar mimpi.
Bersyukurnya lagi, apa yang sempat menjadi kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya bisa bebas masuk dan mengajar di sekolah yang murid dan gurunya mayoritas nasrani ini tanpa harus mengubah penampilan dan memendekkan kerudung saya yang kelebihan bahan.
Senangnya mengajar di sekolah ini karena sesuai dengan jurusan yang saya ampuh. Jadi waktu itu saya baru tahu kalau di kurikulum 2013 pelajaran matematikanya dibedakan menjadi dua. Matematikan IPA dan Matematika umum. Pantesan guru matematika yang dibutuhkan lumayan banyak. Saya sendiri waktu itu diamanahi mengajar matematika umum di kelas X IPA. Kurikulum 2013 ini penjurusannya rupanya sudah dari awal masuk, beda ya dengan zaman kita sekolah dulu. Naik kelas XI baru penjurusan.
Oya selama mengajar di SMA Negeri 1 saya juga cukup terkenal sebagai guru yang disiplin yang walau hujan walau panas terik tetap rajin datang dan masuknya on time, hihi. Padahal aselinya nggak disiplin-disiplin amat sih, haha.
Saking disiplinnya, sampai-sampai kalau lihat saya muncul menuju kelas anak-anak spontan menyanyikan walau badai menghadang entah murid siapa yang memulainya sampai tersebar ke seluruh kelas yang saya ajar, ckck.
Itulah tiga sekolah tempat saya berbagi ilmu semasa di Papua. Tentunya masing-masing sekolah punya kenangannya sendiri. Lantas bagaimana rasaya menjadi Guru di Papua?
Rasanya Menjadi Guru di Papua
Ternyata menjadi guru itu tidak semembosankan yang saya kira dulu. Jadi guru itu asyik dan menyenangkan lho. Saking menyenangkannya , ketika mengajar saya sering merasakan begitu cepatnya waktu berlalu. Satu kali pertemuan bertatap muka rasanya singkat sekali.
Nah, kalau ditanya bagaimana rasanya menjadi guru di Papua. Ya rasanya sama saja seperti kita menjadi guru di daerah lain di luar Papua. Toh, kurikulum yang digunakan sama, kan? Paling yang membedakan lingkungan dan murid-murid yang kita ajar saja.
Karena saya punya pengalaman mengajar di Papua sehingga mayoritas murid-murid yang saya hadapi ya murid-murid asal Papua, kecuali di MTs Darussalam yang muridnya memang rata-rata pendatang dan semua beragama Islam.
Kalau mau dibandingkan anak-anak Papua dan anak-anak pendatang skillnya juga nggak beda jauh. Anak-anak Papua tak kalah cerdas kok, plusnya lagi mereka punya semangat belajar yang tinggi.
Pastinya kamu sudah kenal dong dengan salah satu staff khusus milenial presiden Jokowi dari Papua, Gracia Billy Yoshapat Mambrasar. Nah, Billy merupakan salah satu putra Papua kelahiran Serui, Kepulauan Yapen yang terbilang sukses meski lahir dari keluarga Menengah ke bawah.
Kisahnya dalam menunut ilmu juga inspiratif, bisa menempuh pendidikan ke ITB bahkan sampai ke luar negeri. Anak-anak Papua juga kalau punya jiwa dan karakter kayak pendiri yayasan Kitong Bisa ini, yakni pantang menyerah dan terus berusaha menggapai mimpi pasti bisa juga menempuh pendidikan hingga ke setinggi-tingginya dan kembali ke Papua dengan membawa kesuksesan.
Kecuali kalau murid-murid yang berasal dari Kampung-Kampung atau daerah pedalaman Papua, memang agak tertinggal. Tak heran bila setelah menempuh masa sekolah di SD selama 6 tahun, sebagian besar diantara mereka masih belum bisa baca tulis dan berhitung seperti murid-murid yang pernah saya ajar di SMP Muhammadiyah. Bagaimana nggak buta huruf kalau gurunya saja jarang masuk.
Yup, kondisi pendidikan di pedalaman Papua memang masih jauh dari ideal bila dibanding dengan kondisi pendidikan yang ada di kota. Tidak banyak guru yang mau mengabdikan diri di sana. Meski pemerintah sudah merekrut guru kontrak dan mengirim guru-guru yang terpilih namun masih saja ada guru yang tidak profesional menjalankan tugasnya. Hanya sehari dua hari di Kampung lantas berhari-hari di Kota.
Hal seperti inilah yang membuat anak-anak Papua yang sekolah di Kampung-Kampung tertinggal jauh. Jadi kalau kamu ingin merasakan tantangan berat menjadi guru, jadilah guru di Pedalaman Papua. Kalau cuma jadi guru di Papua apalagi di kotanya mah sama tantangannya kecil.
Walau harus saya akui, profesi guru bukanlah profesi yang mudah. Tugas seorang guru bukan hanya semata-mata mengajar dan mendidik. Lebih dari itu, guru punya tanggung jawab yang besar. Harus bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Pun mampu berperan sebagai pengganti orang tua siswa di rumah. Belum lagi dengan seabreg tugas membuat perangkat pembelajaran dan lain sebagainya.
Apalagi yang mengajar lebih dari satu sekolah seperti saya. Rasa-rasanya waktu dalam sehari 24 jam itu benar-benar tidak cukup. Ah, bicara soal ini bikin saya beneran jadi kangen dengan masa-masa itu. Kangen sekolah. Kangen murid-murid. Kangen Papua. Kangen semua yang ada di sana. But this is my life and life is choice.
Menjadi guru memang takdir terbaik yang Allah pilihkan untuk saya namun saya lebih memilih menjemput takdir saya yang lain. Menjadi ibu rumah tangga.
Jika ada yang bertanya kenapa saya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga ketimbang guru, maka jawaban saya sederhana saja.
Saya tidak pernah bermimpi menjadi guru.
Mimpi saya adalah menjadi ibu rumah tangga. Sesederhana itu.
Lantas ketika saya akhirnya menjadi ibu rumah tangga, saya percaya itu karena takdir sekaligus mimpi yang diwujudkan Tuhan.
Baca juga Tentang Mimpi yang Sederhana
Sekian, sharing saya kali ini. Semoga bermanfaat😊
36 komentar untuk "Menjadi Guru di Papua, Bagaimana Rasanya?"
Sama-sama sarjana pend matematika
Salam kenal mb
Sa percaya sekali..
Terus, sa baru tahu juga kalau di Serui itu ada dataran tinggi e? Hahaha
selama ini sa kira Serui itu cuma laut saja
Hehe Serui meskipun daerah kepulauan tetap ada juga dataran tingginya, hehe. Malah ada juga puncak Serui Lautnya.
Saya, jangankan ke Papua, bahkan di kampung sebelah aja males hahahaha.
Kadang nyesal juga, mengapa dulu saya begitu penakut ke mana-mana.
Sampai saya kerjapun, jangankan ditugasi ke luar kota, ke proyek dalam kota aja minta di temanin.
Sekarang nyesal deh, karena nggak punya banyak pengalaman ke mana-mana :(
keren Mba, jadi guru untuk anak-anak Papua, apalagi dengan kondisi lingkungan di sana yang masih minim fasilitas
Saya salut banget sama daya juang anak papua yang harus berangkat pagi2 buat ke sekolah, saya juga salut sama para guru yang mengajar mereka.
<3
Semangat anak-anak Papua untuk maju dan berkembang begitu tinggi.
Semoga pemerintah terus tingkatkan perhatian ke Papua ya, karena potensi SDM dan SDA di sana juga nggak kalah dengan daerah lain.
Oh ya baru tau lho mba kalau di Papua juga susah untuk dapat pekerjaan, pantes deh temen-temen yang menempuh studi di sini rata-rata bilang "pengen di Jawa saja", tapi banyak juga yang bilang mau pulang untuk bangun Papua..
Btw doain aku ya kak semoga bisa ke Papua , pengen rasanya ke Indonesia Timur sana.
Senang kenal Mbak siska karena hidupnya ternyata kaya warna. Menjadi guru itu membuat Mbak tampak lebih sabar dan lebih edukatif dalam menulis.
Tapi jadi guru yang menyenangkan dan senang itu langka
Buktinya, meski sudah begitu lama, mba masih runut menuliskannya.
Aku serasa ikut berada di sana, di Papua :)
Wah keren banget pengalamannya, pasti nggak terlupakan ya apalagi udah ditulis di Kamar Kenangan ini.
sekarang alhamdulillah jadi guru yang sharing sesuai passion saya menyenangkan alhamdulillah
apapun niatnya insyaAllah berkah. Makasih ya mba udah sharing tentang kehidupan di Papua sana.
Penasaran, bagaimana rasanya mengajar siswa SMP yang ndak bisa membaca?
Aihhh salut deh sama mbak Siska yang jadi guru di lokasi yang super jauh sampai Papua sana.
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.