Mom Shaming dan Depresi Pasca Melahirkan, Apa Hubungannya?
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Mom Shaming dan Depresi Pasca Melahirkan, Apa Hubungannya? Pasca melahirkan seorang ibu rentan mengalami gangguan psikologis seperti baby blues, depresi bahkan psychosis. Penyebabnya tentu saja bukan semata-mata karena perubahan hormon, faktor dari lingkungan keluarga atau sekitar juga sangat berpengaruh.
Setidaknya itu yang dapat saya simpulkan setelah membaca beberapa pengalaman ibu-ibu yang pernah mengalami depresi pasca melahirkan. Yang mulanya hanya diserang baby blues namun karena lingkungan di sekitarnya tidak mendukung kondisi psikologis si ibu akhirnya jadi bertambah parah. Ah, saya pun mengalami hal serupa setelah melahirkan anak pertama.
Even depresi yang saya alami tidak parah-parah amat, tidak sampai melukai diri dan si bayi tapi tetap saja itu merupakan kondisi yang benar-benar buruk. Kondisi dimana saya merasa nggak bahagia meski sudah bertemu dengan bayi yang telah lama saya rindukan, bahkan sebelum ia dititip di rahim saya. Saya yang tersiksa menahan rasa sakit di awal-awal menyusui. Saya yang menderita setiap kali harus meladeni kerewelan si kecil sepanjang malam.
Belum ditambah dengan perubahan hormon setelah melahirkan yang membuat kondisi mood saya parah banget. Tadinya mungkin saya masih bisa tersenyum, tidak lama kemudian saya akan jengkel lalu marah, lalu menangis, lalu tenang lagi dan begitu seterusnya.
Dan meskipun sebelum melahirkan saya sudah kenal dengan istilah baby blues, tahu gejala-gejalanya, namun pada saat mengalaminya sendiri saya justru ragu dan bertanya-tanya. Apakah kondisi yang saya alami inikah yang dinamakan baby blues? Apakah seperti ini yang dirasakan para ibu ketika diserang baby blues?
Jujur saja, waktu itu saya butuh seseorang yang bisa meyakinkan bahwa yang saya alami itu benar adalah baby blues. Juga menguatkan saya dengan kalimat yang teduh.
"Tak usah khawatir sayang, kamu pasti bisa melaluinya. Kamu harus kuat. Toh, yang kamu alami ini normal kok, dialami juga sebagian besar ibu setelah melahirkan. Nanti gejala ini akan hilang dengan sendirinya. Paling lambat dua pekan setelah kelahiran si kecil. Jadi tenanglah. Kamu tidak sendiri menghadapinya"
Ah, so sweeetnya. Sayang, kalimat teduh seperti itu hanya terangkai dalam khayalan saya semata. Orang-orang terdekat di sekitar saya, boro-boro ada yang mau menenangkan, kenal dengan istilah baby blues saja kayaknya nggak.
Nggak mungkin juga kan saya sendiri yang bilang ke mereka kalau saya sepertinya diserang baby blues. Meminta mereka untuk kasih perhatian lebih -bukan cuma ke bayi saya saja- karena alasan tersebut juga nggak mungkin. Yang ada nanti saya malah dibilangin cengeng, dibilangin manja, dibilangin lemah.
Benar saja, meskipun saya nggak pernah nyinggung soal baby blues, tapi saat mereka mendapati mata saya bengkak (karena abis nangis, eh ini beneran deh setelah melahirkan perasaan saya memang jadi super sensitif, sampai hal-hal kecil dan gaje pun bisa saya tangisi) bukannya ditenangi, malah saya yang disalahkan. Hiks.
Menanggung semua perubahan yang saya alami pasca melahirkan saja sudah sebegitu berat, jadi bagaimana kondisi psikologis saya tidak bertambah parah bila orang-orang di sekitar saya tak mendukung?
Tahu nggak, ASI saya yang sampai berkurang gara-gara saya sempat stress. Itu pun stressnya bukan karena apa-apa tapi karena saya begitu tertekan berada dalam lingkungan yang perhatiannya cuma mengarah ke bayi saya.
Saya disuruh makan banyak agar ASI saya lancar. Kalau ASI saya lancar, bayi saya tidak akan rewel. Kalau bayi saya rewel, saya yang disalahkan. Dibilangi ASI saya kuranglah, sedikitlah, apalah. Padahal saya sudah makan banyak lho, lalu kenapa bayi saya masih saja rewel? Bahkan meskipun saya sudah menyusuinya sepanjang malam, ini bayi seperti nggak ada kenyang-kenyangnya.
Itu baru masalah ASI, belum dengan masalah-masalah lainnya. Tapi saya nggak akan nyinggung semuanya di sini. Jelasnya, setelah melahirkan banyak sekali tekanan-tekanan yang saya dapatkan.
Sedih saja sih, karena yang menyebabkan saya sampai stress dan mengalami depresi setelah melahirkan bukan karena siapa-siapa, bukan karena orang luar melainkan dari orang-orang terdekat saya sendiri. Dari komentar-komentar mereka yang begitu menusuk sampai ke hati.
Padahal komentar-komentar mereka cuma hal-hal yang sepele, dan memang kedengarannya sepele sekali. Bukan hal yang perlu dipermasalahkan tapi seperti yang sudah saya bilang, setelah melahirkan perasaan saya jadi super duper sensitif. Jadi komentar apapun, terutama yang berkaitan dengan gaya pengasuhan saya ke si kecil itu kedengarannya sangat menyakitkan.
Contohnya saja masalah ASI. Setiap kali ASI saya dibilangi kurang atau sedikit saya pasti sakit hati, pasti nangis bombay. Dan masih banyak lagi komentar lain yang ketika mendengarnya saya seperti makan hati. Apalagi sebelum melahirkan saya memang nggak ada pengalaman sama sekali mengurus bayi. Gendong bayi saja saya nggak bisa, dan baru belajar setelah si Bunay brojol.
Jadi deh saya sering ditimpuk dengan komentar-komentar dari mereka yang mungkin maksudnya baik, hanya saja cara penyampaiannya yang terkesan menggurui itu yang bikin hati saya sakit dengarnya. Nah, belakangan baru saya sadari, ternyata perlakuan atau yang saya dapatkan dari orang-orang terdekat saya inilah yang dinamakan mom shaming.
Apa Itu Mom Shaming?
gambar : dictio.id |
Istilah mom shaming tentu tak asing lagi di kalangan para ibu millenials, apalagi di era medsos seperti sekarang ini. Mom shaming merupakan perilaku berupa sindiran, kritikan pedas ataupun komentar negatif yang sering diterima para ibu, terutama bagi mereka yang baru menjalani perannya sebagai ibu. Kritikan atau komentar negatif tersebut biasanya terkait gaya pengasuhan yang diterapkan si ibu, tumbuh kembang anaknya bahkan termasuk proses lahiran yang dipilihnya.
Ya kali, mungkin kamu juga sering dengar ucapan-ucapan julid seperti ini ;
"Kok kamu lahiran sesar sih, padahal melahirkan normal kan lebih bagus"
"ASI kamu pasti sedikit ya, makanya si kecil rewel trus. Kasihan, meding kasih tambah susu formula saja deh"
"Kok anak kamu minum susu formula, kenapa nggak dikasih ASI?"
"Kasihan anakmu masih bayi gitu, sudah ditinggal bekerja"
"Anak kamu sudah usia setahun kok baru merangkak, anak saya saja dari usia 10 bulan sudah jalan lho"
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan merendahkan seperti itu yang sering diterima para ibu setelah melahirkan. Ironisnya, karena yang biasa menjadi pelaku mom shaming bukan orang jauh, melainkan orang-orang terdekat. Sepertinya ini bukan rahasia umum lagi ya, sudah banyak penelitian juga yang membuktikan, bahwa kritikan pedas atau komentar-komentar julid yang sering didapatkan seorang ibu paling banyak berasal dari keluarganya sendiri, selebihnya dari teman, kerabat, dsb.
Apa Dampak Mom Shaming terhadap Ibu yang Baru Melahirkan?
gambar : mamapapa.id |
Jelas, antara mom shaming dan depresi pasca melahirkan ada hubungannya, apa itu? Dampak. Yup, salah satu dampak dari mom shaming adalah dapat menyebabkan kondisi psikologis si ibu bertambah parah. Bukan sekadar baby blues, melainkan bisa sampai ke tahap depresi bahkan pshychosis.
Menghadapi baby blues saja sudah berat, apalagi sampai ke tahap depresi. Contohnya nggak usah jauh-jauhlah, karena saya pribadi sudah mengalami masa suram itu. Setidaknya depresi yang saya alami pasca melahirkan masih mending, nggak sampai melukai bayi saya sendiri meski keinginan untuk menyakiti itu ada.
Untungnya masih bisa saya kontrol walau pernah saya sempat khilaf dan bersikap kasar pada si kecil dengan mengayunnya sangat keras bahkan sampai menyumbat mulutnya dengan tangan saya sebdiri karena sepanjang malam ia tak kunjung berhenti menangis.
Lantas bagaimana dengan ibu-ibu yang tak mampu lagi mengontrol dirinya karena depresi yang dialami sudah sedemikian parah? Tentu, efeknya sangat fatal sekali.
Ada lho ibu-ibu yang karena mengalami depresi ini, enggan menyentuh bayinya, tidak mau memberikan ASI hingga menyiksa dirinya sendiri bahkan sampai melukai si bayi. Kasus terparahnya ya itu ada ibu yang sampai tega membunuh bayinya sendiri?
Sebenarnya kalau mau dibilang tega juga nggak, karena saya yakin tidak ada ibu di dunia ini yang dalam keadaan sadar tega menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tapi karena kondisi mental si ibu sudah terganggu, dampaknya jadi seperti itu.
Si ibu kemudian yang disalahkan sepenuhnya. Padahal kalau kita menengok penyebabnya, seharusnya kasus-kasus ibu yang melukai bahkan membunuh bayinya sendiri bisa dihindari bila sedari awal lingkungannya terutama dari keluarga benar-benar aware dan tidak menjadikan ia sebagai korban mom shaming.
Jadi kalau kondisi psikologis si ibu sampai separah itu, siapa yang paling tega? Dia atau orang-orang terdekat di sekitarnya yang tidak peka dan membiarkan si ibu berada dalam kegelapan?
That's why, pasca melahirkan seorang ibu sangat membutuhkan support system yang baik dari keluarga, sanak saudara dan terutama suami. Tapi kalau keluarga atau suaminya saja tidak peduli, kurang perhatian malah menjadi pelaku dari mom shaming yang diterimanya, siapa lagi yang bisa ia harapkan?
Bagaimana Menghadapi Mom Shaming Agar Tak Berujung pada Depresi Pasca Melahirkan?
gambar : tipsdoktercantik.com |
Jujur saja, ini pertanyaan yang berat, saya pun sampai mengalami depresi pasca melahirkan karena gagal menghadapi mom shaming. Mental saya saat pertama kali menjadi seorang ibu memang belum kuat, apalagi dari sononya saya tipe wanita baperan. Ditambah pula dengan perubahan hormon yang efeknya bikin mood dan perasaan saya jadi tak karuan.
Bahkan sampai sekarang pun saya masih belum bisa sepenuhnya mengontrol emosi bila dapat komentar nyinyir terkait pola asuh dan tumbang bayi saya dari orang-orang di sekitar. Terutama bila yang dikomentari itu mengenai perkembangan bayi saya yang memang agak lamban dibanding bayi-bayi seumurannya. Duh, rasanya saya mau makan orang deh.
Well, bedanya waktu baru-baru melahirkan saya sering hadapi mom shaming dengan menangis. Dikomentari dikit saya pasti nangis, cengeng banget ya, hehe. Kalau sekarang mah karena sudah agak kebal jadi nggak nangis lagi, tapi yang pastinya saya jadi jengkel setengah mati menghadapi komentar orang-orang yang tak berperasaan itu.
Nah, berhubung mom shaming yang saya terima kebanyakan berasal dari orang-orang terdekat, jadi saya nggak bisa marah. Bisanya cuma diam saja dan menahan jengkel dalam hati. Tak apalah. Toh, pada akhirnya saya menyadari, mom shaming merupakan perilaku yang sangat sulit dihindari.
Perilaku negatif ini bahkan sudah seperti menjadi budaya turun menurun. Apalagi kebanyakan para pelakunya juga nggak sadar bahwa kritikan atau komentar seremeh apapun yang mereka lontarkan dan mengarah pada mom shaming bisa menimbulkan dampak yang mengerikan.
Kenyataannya memang akan selalu ada orang-orang yang berkomentar terkait hidup kita, baik saat masih lajang, setelah menikah maupun setelah punya anak. Entah tujuannya sekadar basa-basi, iseng, sok kepo, benar-benar perhatian atau apalah. Satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengontrol mulut dan pikiran orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengontrol emosi dan pikiran kita sendiri.
Namun harus saya akui, menghadapi mom shaming saat baru melahirkan itu jauh lebih berat ketimbang ibu yang telah melalui fase itu. Percayalah, kamu tak akan kuat menghadapinya sendiri. Harus ada sosok yang bisa menguatkan dan mendukungmu. Minimal sosok itu adalah suamimu sendiri.
Jadi sebaiknya sebelum melahirkan kamu sudah sounding ke suami, tunjukkan informasi-informasinyang berkaitan dengan baby blues maupun depresi pasca melahirkan. Bukan hanya kamu lho yang perlu tahu, suami pun wajib tahu apa itu baby blues, PPD maupun pshychosis. Biar dia bisa lebih peka dan siap menghadapi kondisi psikologis yang mungkin akan menyerangmu pasca melahirkan.
Selain itu, kamu juga perlu memahami self healing. Sekalipun ada suami yang mungkin sudah paham dan mengerti dengan kondisi psikologis yang kamu alami pasca melahirkan tapi karena tuntutan pekerjaan dia jadi nggak bisa selalu membersamai kamu. Apalagi kalah setelah melahirkan kalian menjalani LDM.
Yah, setidaknya dengan menerapkan self healing ini kamu bisa berjuang sendiri melawan depresi itu. Ada banyak metode yang bisa diterapkan dalam self healing. Kalau saya pribadi karena suka nulis dan ngeblog jadi saya gunakan metode ini.
FYI, sebelum mengalami depresi pasca melahirkan saya juga sempat mengalami depresi pasca menikah. Alhamdulillaah saya bisa berhasil keluar dari dua kondisi depresi tersebut setelah melakukan self healing dengan metode menulis. Metode ini cukup efektif lho membantu kita keluar dari serangan depresi. Sudah banyak juga yang mmbuktikannya, kamu juga boleh mencobanya.
Last but not least, perkuat iman, semakin dekatkan hubungan kita sama Allaah. Saya kasih saran seperti ini bukan karena saya pro ya dengan mereka yang asal menjudge. Katanya, ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan itu karena KURANG IMAN.
Ah, tahu darimana si ibu tersebut kurang iman? Bagaimana cara menakarnya? Iman itu masalah hati, sedangkan hati tersembunyi. Tak nampak. Tak seorang pun manusia bisa melihatnya. Hanya Allaah yang tahu benar iman seseorang. Jadi alangkah lucunya bila ada orang yang sok-sok berbicara iman dan mengaitkannya dengan kondisi psikologis yang dialami oleh seorang ibu.
Kenyatannya, setiap ibu yang baru melahirkan memang rentan terserang depresi. Penyebabnya macam-macam, selain karena perubahan hormon, lingkungan yang tak mendukung juga karena menjadi korban mon shaming. So i think, depresi yang dialami ibu pasca melahirkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah keimanan.
Kalau memang ada kaitannya, lantas kenapa salah seorang saudari saya, yang terkenal cerdas nan shalihah, juga seorang hafizhah bisa terserang depresi ini? Apa karena ia kurang iman? Sekali lagi, bukankah masalah iman itu hanya Allah yang tahu?
Terlepas dari hal tersebut, mendekatkan diri selalu pada Allah memang sudah merupakan kewajiban seorang hamba. Allah yang menggenggam jiwa-jiwa kita, pada-Nya jualah kita berpasrah dan memohon agar dihindarkan dari kondisi psikologis yang tak diharapkan setelah melahirkan.
Kesimpulan
Mom shaming dapat memperparah kondisi psikologis yang menyerang ibu setelah melahirkan. Tak dimungkiri, salah satu penyebab seorang ibu sampai mengalami depresi pasca melahirkan karena perilaku tak enak yang didapatkannya dari orang-orang sekitar. Bahkan meskipun perilaku tak enak itu berupa komentar-komentar yang terdengar sepele.
Sungguh menjadi ibu bukanlah hal yang mudah. Tidak ada ibu yang sempurna di dunia ini. Ya, daripada berkomentar atau mengkritisi pola asuh ibu lain, sebaiknya kita berkaca pada diri sendiri. Apakah kita memang telah benar-benar jadi ibu yang baik untuk anak-anak kita sendiri? Apakah selama mengasuh mereka kita tak pernah berbuat salah secuil pun?
Atau coba posisikan diri kita sebagai si korban. Bagaimana jika yang mengalami mom shaming itu adalah diri kita sendiri? Saya yakin tidak ada ibu yang suka disindir, dikomentari atau dikritisi gaya pengasuhannya. Apalagi jika disampaikan dengan cara yang tidak etis.
Memberi saran boleh saja, tapi kalau saran yang ingin kita sampaikan bermaksud untuk merendahkan si ibu karena pola asuhnya berbeda dengan yang kita terapkan, maka menahan lidah untuk tidak berkomentar apapun adalah lebih baik. Jangan sampai depresi yang dialami oleh salah seorang keluarga, teman atau sahabat kita setelah melahirkan justru karena komentar yang pernah keluar dari mulut kita.
Salam,
@siskadwyta
21 komentar untuk "Mom Shaming dan Depresi Pasca Melahirkan, Apa Hubungannya? "
Kalau saya Alhamdulillah nggak terlalu baper ama ucapan orang, mungkin saya udah terlalu baper dengan sikap suami kali ya hahaha.
Suami saya perhatian, tapi hanya yang terlihat saja, beliau nggak mau tahu kalau mengenai hal-hal yang perasaan.
Saya nggak bisa menyusui karena puting lecet, dia nggak peduli, itu yang bikin saya sediihhh banget.
Saya capek dengan anak yang waktu bayi banyak banget dramanya, dia ga peduli.
itu yang bikin baper maksimal.
Mungkin karena itu, temen2 saya bilang nggak boleh minum es nanti begini begitu, saya cuman ketawa aja.
Teman juga protes cara saya gendong, cara saya nyusuin, makanan saya.
Say cuek aja. sambil membatin
"Dasar kampungan!" hahahahaha
Itu cara terbaik bikin hati nggak baper hahahaha
Mengerjakan hobi/kesukaan emang self healing yg ampuh ya Mbak, and you did it well.
Depresi emang susah sih ya dielakkan, tapi tergantung kitanya juga gimana manage diri ya :)
Saya dlu juga pernah mengalami baby blues pasca lahiran sesar. Ibu mertua sempat menganggap saya manja hehehe.. Padahal aslinya saya jarang banget nangis.
Jadi memang benar bahwa orang terdekat wajib paham masalah baby blues dan mom shammimg ini.
Thanks artikelnya semoga tidak ada lagi ibu depresi pasca melahirkan
sekarang lagi hamil aja udah dikatain gendut, katanya kebanyakan tidur, jadi gendut. kesel kan jadinya.
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.