Bukan Sekadar Baby Blues
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Mengapa ada seorang ibu yang tega membunuh bayinya sendiri? Pertanyaan tersebut mungkin juga terbesik di benak kamu setelah menyaksikan atau membaca berita yang sempat heboh awal September ini.
Atau kamu barangkali mencoba menerka-nerka, kira-kira apa yang ada di pikiran sang ibu ketika menghabisi nyawa anaknya yang bahkan baru berumur tiga bulan? Apa karena memang si ibu itu benar-benar sudah gila?
Yup, kalau bukan gila apa namanya? Lagipula mana ada ibu “waras” yang telah melalui perjuangan berat dari mulai mengandung selama sembilan bulan hingga melalui proses melahirkan dengan menanggung rasa sakit yang teramat sanggup melakukan perbuatan sekeji itu? Buah hati yang dinanti-nanti justru dibunuh dengan tangannya sendiri. Apa masuk akal?
Kalau dipikir-pikir memang sangat tidak masuk akal. Terlebih setelah diselidiki, si ibu mengaku menghabisi nyawa bayi tiga bulannya itu karena mendapat bisikan gaib. Lewat bisakan tersebut, ia diperintah untuk membunuh bayinya agar dikirim ke surga.
See! Ibu waras mana yang percaya dengan bisikan gaib itu?
Ah, bukankah kasus serupa sudah sering terjadi. Bukan baru sekali ini, sudah berkali-kali dan dengan pengakuan yang senada. Setidaknya yang pernah saya saksikan di layar kaca seperti itu. Setiap muncul kasus ibu membunuh bayinya sendiri, motifnya selalu sama. Mendapat bisikan gaib. Apakah itu sebuah kebetulan belaka?
Bukan Sekadar Baby Blues
gambar : mamibuy.com |
Usia kandungan saya baru menginjak trimester awal ketika saya mendapat kabar salah seorang saudari shalihah yang baru sekira dua bulan melahirkan mengalami gangguan psikis. Kelakuannya jadi aneh. Saudari-saudari saya yang lain menduga ia menderita baby blues
Apa itu baby blues? Waktu itu saya benar-benar masih asing dengan istilah yang belakangan, setelah melahirkan ternyata saya pun mengalamimya.
Namun gejala yang dialami saudari saya ini jelas lebih parah. Dia sering berusaha menyakiti diri dan bayinya sendiri. Bahkan menganggap bayinya itu bukan nasabnya dia. Sampai-sampai dia terpaksa harus dipisahkan dengan anaknya dan dikurung di kamar tersendiri. Oleh keluarga dan kerabat di sana dia sempat dibawa ke tempat ruqyah untuk berobat.
Of course, pengobatan dengan cara ruqyah tak mempan menghilangkan gangguan yang dialaminya. I think, kondisi yang dialami saudari saya itu bukan karena gangguan jin maupun makhluk halus lainnya. Dia sosok wanita yang shalihah dan cerdas, hafizhah pula, in syaa Allaah keimanannya pun kuat jadi mana mungkin dia bisa dapat gangguan dari makhluk halus.
Sungguh, saya hanya benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu yang selama sembilan bulan mengandung diliputi rasa bahagia namun setelah melahirkan ia justru menderita setiap kali melihat bayinya? Bagaimana mungkin seorang ibu yang sejak mendapati dua garis merah begitu tak sabar ingin segera bertemu lantas ketika sang buah hati telah hadir di dunia, ia malah tidak mengakuinya sebagai nasab? Bagaimana mungkin seorang ibu tega menyakiti bayi yang telah lama ia damba? Dan mengapa semua kondisi mengenaskan itu bisa dialami oleh saudari saya? Apa yang salah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjelma tanda tanya besar di kepala saya. Selanjutnya saya begitu excited mencari tahu segala hal yang berbau baby blues. Berawal dari mencari info tentang baby blues, saya akhirnya mengetahui ada dua lagi gangguan psikis lain yang juga bisa dialami ibu paska melahirkan. Namanya Post partum Depression (PPD) dan Post Partusm Pshycosis (PPP)
Maka sampailah saya pada kesimpulan bahwa yang dialami oleh saudari saya, bukan sekadar baby blues. Gejalanya sudah sampai pada tahap PPD akut atau bisa jadi pshycosis karena ia selalu ingin menyakiti diri dan bayinya. Gejala pada fase pshycosis ini jelas sangat parah, karena akibat terburuknya ya seperti kasus yang baru-baru terjadi awal bulan ini. Seorang ibu membunuh bayinya sendiri.
Kondisi Psikologis Ibu paska Melahirkan
gambar : merdeka.com |
Barangkali bila tidak mengalami sendiri yang namanya post partum, reaksi saya akan sama seperti orang kebanyakan. Ikutan-ikutan menjudge, menghakimi si ibu yang tega membunuh anaknya. Menganggapnya gila, tidak waras dan sangat pantas mendapatkan hukuman setimpal.
Namun tidak. Saya justru merasa kasihan dengan si Ibu tersebut. Entah beban sebesar apa yang sudah ditanggungnya seorang diri. Entah kesulitan sedahsyat apa yang tengah ia hadapi. Entah tekanan seberat apa yang telah ia dapatkan.
Kita mungkin gampang saja menjudge, menghakimi, memaki-maki, menghujat sepuasnya, menganggap si ibu itu tega, kejam, sadis, tanpa tahu benar apa yang telah dialaminya sampai bisa menderita gangguan psikis paska melahirkan.
Well, meski belum ada keterangan pasti namun kemungkinan gangguan psikologis yang dialami si ibu sudah pada tahap pshychosis. Kenapa demikian? Karena pada tahap ini si ibu akan sering mengalami halusinasi. Ia akan berada dalam fase tidak sadar dan seolah mendengar bisikan-bisikan.
Nah, boleh jadi bisikan gaib yang didengar oleh si ibu tersebut akibat halusinasi. Kalau memang benar demikian, berarti bukannya dia tega, dia hanya sedang dalam fase tidak sadar saat melakukan perbuatan mengenaskan itu. Lagian saya yakin dan percaya, tidak ada seorang ibu di dunia ini yang benar-benar tega membunuh darah dagingnya sendiri dalam keadaan sadar.
Baiklah sebelum lanjut sebenarnya saya sudah pernah memosting tulisan terkait kondisi psikologi yang rentan dialami oleh ibu paska melahirkan, namun tak apa ya saya jelaskan ulang kembali di sini. Setidaknya sebelum ikut-ikutan men-judge, menghakimi, menghujat dan memaki-maki, you must know ada tiga kondisi psikiogis yang mungkin bisa dialami oleh seorang ibu paska melahirkan yakni Baby blues, PPD dan Pshychosis. Apa perbedaannya?
Baca juga Pasca Melahirkan Ibu Rentan Mengalami Baby Blues, PPD dan Pshychosis, Kenali Perbedaan Ketiganya
Baca juga Pasca Melahirkan Ibu Rentan Mengalami Baby Blues, PPD dan Pshychosis, Kenali Perbedaan Ketiganya
Perbedaan Baby Blues, PPD dan Pshychosis
Memiliki anak tentunya termasuk momen yang membahagiakan. Namun bagi kamu yang belum menikah atau belum memiliki anak, mungkin bertanya-tanya, kok setelah melahirkan banyak ibu yang bukannya bahagia malah sedih, stress bahkan sampai mengalami depresi.
Ketahuilah, paska melahirkan seorang ibu memang rentan mengalami depresi. Faktanya sekitar 80% ibu setelah melahirkan akan mengalami gangguan emosional yang disebut Baby Blues Syndrome (BBS).
Baby blues ini masih termasuk gejala psikologis ringan yang tidak terlalu mengkhawatirkan. Gejalanya seperti sering menangis, mudah tersinggung, sering berpikiran buruk, dll. Umumnya hanya berlangsung beberapa hari dan akan hilang dengan sendirinya paling lambat dalam jangka waktu dua pekan.
Kehadiran baby blues memang masih dianggap normal dan tidak membahayakan namun bila tidak ditangani dengan baik akan membawa sang ibu pada gejala psikologis yang lebih parah, yakni Post Partum Depressios (PPD)
Gejala PPD kurang lebih sama dengan baby blues sehingga banyak orang yang keliru menganggap baby blues dan PPD adalah dua kondisi psikologis yang sama dan wajar dialami seorang ibu paska melahirkan. Padahal tidak demikian.
Seorang ibu yang setelah melahirkan sering ditemukan menangis, itu masih termasuk wajar karena ia sedang mengalami baby blues yang muncul akibat adanya perubahan hormon. Namun menjadi tidak wajar ketika dia terus menerus sedih dan menangis sepanjang waktu hingga melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu. Menjadi tidak wajar ketika seorang ibu mulai menunjukkan sikap tidak peduli pada bayinya. Menjadi tidak wajar ketika seorang ibu nyaris tidak pernah tidur dalam 24 jam sekalipun dia sangat lelah.
Apalagi jika kondisi tersebut berlangsung lebih dari dua pekan atau sampai berbulan-bulan. Itu jelas bukan baby blues, tapi depresi (baca PPD) yang segera butuh penangan yang tepat. Jika tidak segera ditangani, kondisi psikologis si ibu akan makin parah, bahkan efeknya bisa membahayakan ibu dan bayinya.
Lantas bagaimana dengan pshychosis?
Gangguan psikologis yang satu ini boleh jadi muncul akibat baby blues maupun PPD yang tidak tertangani dengan baik namun bisa saja muncul begitu saja, karena sifatnya spontan, cepat datang, cepat pula menghilang, namun efeknya sangat berbahaya. Bahkan ada ahli psikolog yang mengibaratkan pshychosis ini seperti badai angin torndado. Datang dan hilang dalam sekejap, menyisakan kehancuran.
Nah, post partum pshycosis inilah yang dianggap sebagai alasan dibalik mengapa seorang ibu tega menyakiti bahkan sampai membunuh bayinya sendiri. Seperti yang sudah saya singgung di atas, seorang ibu yang mengalami post partum pshychosis akan berada dalam fase tidak sadar karena mengalami halusinasi. Ia tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang imaginasi dan mana yang kenyataan.
Jelas, kondisi psikologis ini jauh lebih parah dibanding baby blues maupun PPD sehingga patut diwaspadai karena sangat membahayakan nyawa sang ibu dan bayinya. Kemunculannya bisa terjadi sejak 2 hari atau 2-3 tahun paska melahirkan. Adapun penanganan pshycosis harus secara medis dan psikologis.
Oya, belum diketahui pasti mengapa pshychosis bisa terjadi namun faktor-faktor seperti perubahan hormon, tekanan-tekanan yang didapatkan, kelelahan dalam mengurus new born hingga kesulitan-kesulitan dalam menghadapi persoalan hidup yang luar biasa sulitnya dan tak mampu ditanggung si ibu itulah yang diduga memicu munculnya gangguan psikologis yang satu ini.
Yang Seorang Ibu Butuhkan paska Melahirkan, Dukung Ia Agar Tetap Waras
Setelah tahu persis kondisi apa yang sebenarnya dialami oleh saudari saya setelah melahirkan, saya jadi was-was. Apa mungkin setelah memasuki fase post partum saya juga akan mengalami kondisi psikologis seperti dirinya? Ah, tidak. Saya coba meyakinkan diri, berkata dalam hati dengan begitu pedenya bahwa saya tidak akan menderita baby blues apalagi sampai mengalami depresi paska melahirkan.
But see? Apa yang terjadi dengan kondisi psikologis saya setelah melahirkan? Kehadiran si Bunay seharusnya membuat saya jadi ibu yang bahagia. Dia adalah buah hati pertama yang telah berbilang bulan saya nantikan. Semestinya saya menyambutnya dengan luapan suka cita? Namun tidak, yang terjadi malah sebaliknya.
Saya tidak bahagia. Saya selalu terjaga dengan perasaan hampa. Bukankah setidaknya hari-hari yang saya lalui paska melahirkan penuh warna namun kenapa yang saya rasakan hanyalah kelabu. Kenapa saya bisa terbangun dengan perasaan tak bergairah padahal bayi yang selama sembilan bulan saya kandung itu telah ada membersamaiku? Kenapa kehadirannya di dunia tidak lantas membuat hidup saya jadi lebih bersemangat?
Setelah saya akhirnya bisa bertemu nyata dengannya, setelah saya bisa mendekapnya erat, setelah saya bisa menetapnya lekat, setelah saya bisa membangun bonding dengannya lewat proses menyusui, kenapa reallitas yang saya hadapi malah tak sesuai dengan ekspektasi indah yang saya bayangkan selama ini
Baca juga Pengalaman Enam Bulan Menyusui Bunay
Baca juga Pengalaman Enam Bulan Menyusui Bunay
Saya pikir, setelah Bunay lahir saya akan jadi ibu yang paling bahagia di dunia. Nyatanya apa? setiap hari saya merasa hampa, setiap hari saya merasa tersiksa, setiap hari saya merasa tak karuan. Saya menjadi begitu sensitif. Begitu mudah tersinggung. Begitu suka menangis. Pun mengalami kesulitan tidur padahal setiap malam saya selalu begadang. And you know, kondisi tersebut bukan berlangsung hanya sepekan dua pekan namun hingga berbulan-bulan.
Apakah itu berarti saya menderita baby blues? Jika memang kondis psikologis yang saya alami tersebut adalah baby blues, tentu saya tidak akan mengalamimya lebih dari dua pekan setelah melahirkan. Apakah itu berarti saya menderita PPD? Iya, kondisi psikologis yang saya alami paska melahirkan telah sampai pada tahap depresi even saya telat menyadarinya.
Well, saya saja nggak sadar telah mengalami depresi paska melahirkan, apalagi orang-orang terdekat yang ada di sekelilingku. Mereka mana peka, mana peduli. Toh, semenjak melahirkan, semua mata dan perhatian lebih tertuju pada si bayi. Perhatian yang diberikan ke saya pun tujuannya semata-mata untuk si bayi juga bukan untuk bundanya.
Saya disuruh makan banyak agar ASI lancar. Kalau ASI saya lancar, bayi saya tidak akan rewel. Tapi kalau bayi saya rewel, saya yang disalahkan. Dibilang ASI saya sedikitlah, kuranglah, apalah. Padahal saya sudah makan yang banyak, lho.
Oya, selam 40 hari paska melahirkan saya juga dibebastugaskan dari semua pekerjaan rumah tangga. Baik itu sekadar mencuci piring, menyapu maupun menyimpan tempat tidur. Jadilah selama 40 hari itu tugas utama saya hanya fokus menyusui dan merawat si baby.
Saya nggak tahu tradisi di keluarga lain seperti apa, yang jelas tradisi di keluarga saya seperti itu. Apalagi yang berkaitan dengan masalah cuci pakaian baby dan ibunya. Harus diambil alih sama suami. Mama ketat banget soal ini. Pokoknya selama 40 hari saya dilarang kerja apa-apa dan urusan mencuci wajib dikerjakan oleh suami.
Baiklah karena selama 40 hari itu, saya tinggal di rumah ortu, ada kakak juga jadi urusan pekerjaan lain seperti masak, menyapu, bersih-bersih, nggak terlalu masalah. Tapi untuk urusan mencuci, ini jelas-jelas yang masalah.
Sebenarnya ini cuma masalah kecil sih tapi akhirnya jadi besar, jadi sering dipeributkan. Masalahnya setelah melahirkan, saya dan suami terpaksa kembali menjalani LDM. Suami harus kembali masuk kerja jadi pulangnya hanya sekali-kali atau pas weekend.
Nah, karena saya tidak dibolehkan kerja apapun, sementara suami juga nggak tiap hari pulang, siapa yang mencuci pakaian dong? Mana ART juga nggak punya. Terpaksa mama yang ambil alih pekerjaan tersebut, tapi khsus untuk pakaian cucunya saja. Duh, saya jadi nggak enak banget. Tapi kadang juga saya suka kasian sama suami yang baru pulang kerja, menempuh perjalanan jauh pastinya dia capek sekali dan butuh istirahat tapi sesampai di rumah harus berkutat lagi dengan tumpukan pakaian kotor.
Kelihatannya enak banget ya perhatian yang diberikan keluarga saya dengan adanya tradisi tersebut. But for me, tradisi itu justru bikin saya jadi sangat tertekan. Dan masih banyak lagi tekanan-tekan lain yang saya dapatkan setelah melahirkan dan itu bikin saya stress (tak perlu saya ceritakan semuanya di sini) termasuk yang berkaitan dengan ASI.
Jujur saja, kalau ada yang komentari ASI saya sedikit, ASI saya kurang dan bla bla, pastinya hati saya bakal sakit sekali. Saya bahkan berkali-kali menangis karena persoalan ini. Okelah, orang-orang di sekeliling saya memang pro-ASI dan sering menyarankan saya untuk banyak makan, banyak minum. Sama suami pun saya diharuskan minum susu plus mengonsumsi suplemen menyusui.
Tapi mereka lupa atau tepatnya mungkin tidak tahu, kunci kelancaran ASI bukan dari seberapa banyak makanan dan minuman bergizi yang masuk ke dalam tubuh ibu melainkan dari kebahagiaannya. ASI akan lancar ketika ibu bahagia, tidak stress, tidak banyak pikiran. Nah, masalahnya bagaimana ASI saya bisa lancar, kalau nggak ada yang support saya untuk bahagia. Nggak ada yang bantu saya untuk menghalau stress. Nggak ada yang sama sekali peduli dengan kondisi psikologis saya.
Nulis ini beneran bikin saya nyesek. Saya ingat masa-masa suram yang saya alami setelah melahirkan. Betapa saya harus berjuang sendirian untuk melawan depresi itu. Suami ada. Keluarga ada tapi support mereka semata-mata demi bayi saya. Padahal bundanya juga sangat membutuhkan dukungan, tapi saat saya menangis, saat saya mengeluh, saya malah dibilangin cengeng, dibilangin manja. Astaghfirullaah.
Bersyukur saya punya hobi menulis, punya blog dan menjadikan aktivitas blogging ini sebagai terapi self healing. Namun bagaimana dengan mereka yang tak punya pelarian untuk self healing?
Baca juga Tentang Satu Momen yang Membuat Saya Merasa Bangga Menjad Narablog
Baca juga Tentang Satu Momen yang Membuat Saya Merasa Bangga Menjad Narablog
Setidaknya sekarang saya tahu jawabannya. Mengapa setelah baru melahirkan ada seorang ibu yang tega menyakiti bahkan sampai membunuh bayinya sendiri? Atau mengapa akhirnya saudari saya itu bisa mengalami kondisi psikologis yang mengarah pada pshychosis karena tindakannya selalu ingin menyakiti diri dan bayinya?
Dengan perubahan hormon yang drastis terjadi pada ibu setelah melahirkan, maka mengurus new born sungguh bukanlah perkara yang mudah, terutama bila itu adalah anak pertama. Saya saja yang setelah melahirkan masih tetap terserang baby blues bahkan sampai pada tahap PPD even ada suami dan keluarga yang membantu mengurus si baby apalagi dengan saudari saya itu yang memang tidak ada yang membantunya mengurus si baby sama sekali, karena hanya tinggal berdua dengan suami. Itupun suaminya kerja seharian dan baru pulang menjelang maghrib.
Bukan tidak mungkin gejala pshycoshis juga akan menyerang, kalau kondisi saya seperti saudari saya itu. Di perantauan dan jauh dari keluarga. Well, saya juga nggak sanggup kali ngurus new born tanpa support system dari keluarga, terutama suami. Tapi dari pengalaman post partum pertama yang saya alami, support system dalam bentuk saran dan nasihat saja nggak cukup. Kondisi psikologis ini juga sangat-sangat butuh di-support.
Please, dukung kami agar tetap waras. Pahami kami bila setelah melahirkan kami menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung dan sering menangis. Jangan mengatakan kalimat-kalimat negatif yang justru membuat kondisi psikologis kami semakin parah.
Dukungan yang si ibu butuhkan setelah melahirkan sebenarnya nggak susah dan nggak banyak kok. Selain membantu mengurus bayi, support mereka dengan kata-kata yang baik, dengan sikap yang baik pula. Sebab setelah melahirkan umumnya si ibu akan menjadi sensitif dan mudah sekali tersinggung, jadi usahakan kita jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti hatinya even meskipun maksud kita baik.
Selain itu, kita sebagai orang terdekat terutama suami juga perlu memahami kondisi psikologis maupun gejala-gejala psikis yang ditunjukkan ibu pasca melahirkan, entah itu baby blues, PPD maupun psychhosis. Setidaknya dengan begitu, kita mampu menghadapi dan menangani kondisi si ibu dengan cepat dan tepat. Ya, jangan sampai kita terlambat menyadari kondisi atau menganggap sepele perubahan mood yang mereka alami karena akibatnya akan sangat fatal sekali.
I believe, tidak akan ada lagi kasus seorang ibu yang tega membunuh bayinya dengan alasan mendapat bisikan gaib bila sedari awal si ibu mendapat support system yang baik dari keluarga dan orang-orang terdekat di sekelilingnya terutama suami. Namun jangan heran bila perlakuan yang didapatkan si ibu tidak mendapatkan support system yang baik setelah melahirkan, kasus serupa akan terulang kembali, lagi dan lagi.
Salam,
@siskadwyta
14 komentar untuk " Bukan Sekadar Baby Blues"
Suka bingung sama yang menghubungkan baby bpuse, post partum dll dengan iman. Apakah orang yang baby blues tidak punya iman ? Tentu saja punya huhu
Paling tidak, dengan banyaknya sosialisasi tentang babyblues, ppd dan ppp ini akan semakin banyak orang yang sadar, bahwa pasca melahirkan seorang ibu itu membutuhkan dukungan penuh, baik lahir batin, bukan sekedar judgment dan petuah petuah yang bikin down.
Semoga semakin banyak yang peduli dengan kondisi ini dan fenomena seperti kisah di atas bisa semakin berkurang bahkan tidak ada lagi. Allahuma aamiin. 🙏
Anak pertamaku meninggal, aku kena PPD karena stres barengan lahiran sama kakak, dan beberapa hari aku denger tangis bayinya, karena kami sama-sama pulang ke rumah Ibu. Jadi sempat diterapi.
Anak kedua baby blues karena kuatir meninggal lagi
Pokoknya..ga usah kita hakimi. Mending berempati dan peduli
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.