MPASI 8 Bulan Zhaf : Mulai BLW?
Seharusnya cerita tentang MPASI 8 bulan Zhaf sudah saya posting dari bulan Mei lalu sih tapi karena di bulan yang bertepatan dengan Ramadan itu saya (sok) memberanikan diri menerima tantangan menulis #30HariKebaikanBPN jadi postingan terkait MPASI sengaja saya tunda dulu.
Eh setelah tantangan menulis selama bulan Ramadan dari BPN berakhir, saya malah nggak mood melanjutkan cerita MPASI ini, bahkan sampai terbesit keinginan untuk menyudahi cerita tersebut. Biar ceritanya cukup sampai di MPASI 7 bulan saja, soalnya kalau mau lanjutin juga rada telat.
Eh setelah tantangan menulis selama bulan Ramadan dari BPN berakhir, saya malah nggak mood melanjutkan cerita MPASI ini, bahkan sampai terbesit keinginan untuk menyudahi cerita tersebut. Biar ceritanya cukup sampai di MPASI 7 bulan saja, soalnya kalau mau lanjutin juga rada telat.
Baca juga : MPASI 7 Bulan Zhaf
Apalagi usia Zhaf sekarang sudah hampir setahun dan saya baru mau menulis cerita MPASInya di usia 8 bulan. Oke, alasan telat ini yang bikin saya males lanjutin cerita MPASI berseri ini. Tapi kalau tidak saya lanjutkan ceritanya jadi menggantung dong!
Yowes, lebih baik telat ya daripada tidak melanjutkan sama sekali karena efeknya bisa bikin pembaca mati penasaran dengan cerita yang menggantung, hehe. Jadi ada cerita apa saja terkait MPASI Zhaf di usia 8 bulan?
Actually, di usia 8 Bulan ini saya nggak terlalu perhatiin gimana reaksi Zhaf saat makan, karena tugas saya siapin MPASI doang, selebihnya neneknya yang ambil alih.
Jadi waktu menjelang usia 8 bulannya yang tinggal beberapa hari, kakek dan nenek Zhaf alias ortu saya datang dari Papua. Sejak saat itulah, selama kurang lebih sebulan urusan nyuapin si kecil diambil alih sama neneknya.
Nah, saya cuma tahu selama neneknya yang kasih makan, makanan Zhaf sering habis, jarang ada sisa. Meski untuk habisi makanannya kadang butuh waktu lama sih, sampai sejaman gitu.
Padahal idealnya jika mengikuti teori parenting batas waktu pemberian makan ke si kecil maksimal hanya 30 menit, lewat dari itu harus segera dihentikan.
Tapi neneknya mana tahu teori seperti itu. Tahunya yang penting si kecil disuapin sampai makanannya habis. Aih, jangankan neneknya, saya saja masih sering melanggar teori ini meski tahu bila waktu makan anak menghabiskan waktu lebih dari 30 menit bahkan sampai sejaman itu artinya sudah nggak efektif lagi.
Kenapa? Ya karena kalau makannya sampai menghabiskan waktu selama itu bisa jadi ada dua kemungkinan, bayinya sudah kenyang atau bosan dengan makanan yang kita suapkan. Trus kita tetap maksa dia agar menghabiskan makanannya gitu?
Kondisi bayi makan dalam keadaan dipaksa itulah yang bisa menimbulkan efek buruk, seperti bayinya jadi trauma makan, alhasil berujung dengan GTM berkepanjangan.
Thats why saat memberi makan anak kita disarankan untuk menciptakan suasana makan yang menyenangkan dan sebisa mungkin tidak memaksa anak untuk segera menghabiskan makanannya setelah lewat dari 30 menit.
Iya, ngomongin teori saja gampang, tapi pada praktiknya maa syaa Allaah. Memang butuh kesabaran yang kuat saat memberi makan anak sebab praktiknya memang nggak semudah teori.
Syukurnya, meski sering disuapin hingga lewat dari setengah jam, Zhaf nggak sampai mengalami trauma. Kalau GTM sih iya, itupun kadang-kadang.
Bahkan di usianya yang menginjak 8 bulan ini, Zhaf sempat sakit tapi makannya masih tetap lancar walau tidak habis. Lagipula kalau anak sakit dan mengalami GTM itu wajar ya. Kita saja orang dewasa kalau sakit pastinya nggak mood makan apalagi anak-anak yang masih berusia bayi.
Ini juga yang bikin saya terharu setiap ingat momen sakit Zhaf sewaktu mengalami demam tinggi selama sepekan. Selama itu pula kalau dikasih makan dia tetap buka mulut walau tidak sampai mengosongkan piring makan, nenennya juga kuat lho. Hanya saja, sejak sakit di usia 8 bulan, BBnya jadi turun drastis dan sampai sekarang naiknya ngirit banget.
Padahal setelah sembuh dari sakit, makannya makin lahap tapi kenaikan BBnya dalam sebulan hanya sekitar 100 gram. Syukurnya status gizi Zhaf masih dalam batas normal jadi saya nggak terlalu khawatir.
Whatever-lah kalau badannya sekarang terlihat kurusan alias nggak semontok dulu lagi yang penting tetap sehat selalu ya Zhaf sayang.
Namun masalah kenaikan BB yang irit ini tetap harus saya evaluasi. Sepertinya memang ada yang salah dari pemberian MPASI-nya atau entahlah.
Kata orang-orang sih kenaikan BB bayi sejak mulai masuk masa MPASI memang sedikit tidak seperti saat bayi masih mengonsumsi ASI saja. Eh ini bukan kata orang-orang saja lho, karena di KMS juga tertera demikian. Kenaikan BB di usia 6 bulan idealnya 400 gram sementara untuk usia 7-10 bulan 300 gram.
Jadi mestinya saya nggak perlu heran atau khawatir berlebihan bila melihat hasil timbangan si kecil saat masih ASI Ekslusif bisa naik hingga 1 kg per bulannya lantas kini kenaikannya tinggal sekian gram per bulannya. Apalagi kalau grafik BBnya masih di garis hijau.
Baiklah saya tidak berniat membahas lebih jauh masalah BB, so mari kita kembali ke judul.
Yup, kalau di cerita MPASI sebelumnya saya sudah bahas kenaikan tekstur maka di cerita MPASI kali ini saya tertarik menyinggung sedikit mengenai metode BLW. Alasannya tentu saja karena di usia 8 bulannya Zhaf sudah bisa pegang makanan dan mememasukkan sendiri ke mulutnya tanpa perlu disuapi.
Tapi apakah karena alasan demikan saya benar-benar telah menerapkan metode BLW sepenuhnya pada MPASI Zhaf? Eh kalau pertanyaan ini mah nggak perlu saya jelaskan lagi, jawabannya sudah jelas di atas.
Mengenal Baby Wead Leaning (BWL)
gambar : babyweadleaningideas.com |
Baby Wead Leaning (BWL) adalah metode MPASI yang membiarkan bayi memilih dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya sendiri. Jadi jika menerapkan metode BLW, orang tua tidak perlu ikut campur dalam proses pemberian makan bayi. Tugas orang tua di sini hanya sebagai fasilitator.
Dalam BLW makanan yang diberikan kepada bayi tidak dihaluskan atau disaring seperti puree melainkan diberi dalam bentuk utuh dengan ukuran yang disesuaikan dengan genggaman anak atau dikenal dengan istilah finger food. Namun teksturnya tentu saja harus lembut agar mudah dicerna bayi.
Of course, metode yang mengajarkan anak makan secara mandiri ini mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan ibuk-ibuk millenial, malah BLW semakin populer di Indonesia. Apalagi semenjak penyanyi Andien menerapkan metode ini pada MPASI anaknya, Kawa.
But honestly, saya benar-benar asing dengan metode BLW. Selama ini kan saya tahunya bayi kalau makan ya disuapi. Jangankan bayi yang baru belajar makan, bayi yang sudah punya banyak gigi dan bisa jalan ke sana kemari saja kalau makan masih disuapi.
Lha ini, ada satu metode yang membiarkan bayi makan sendiri bahkan bisa diterapkan sejak ia mulai MPASI. Benar-benar metode yang nggak masuk akal di pikiran saya saat itu.
Namun pikiran saya sekonyong-konyong berubah setelah membaca postingan tentang BLW di blog ranafiu.com. Saya yang tadinya sempat berpikir BLW adalah metode pemberian MPASI yang sangat tidak masuk akal jadi merasa takjub bahkan terpesona dengan metode ini. Sungguh, ini metode pemberian MPASI yang luar biasa dan begitu mengesankan. Betapa tidak?
Inti dari BLW adalah bayi makan secara alami, sesuai nalurinya. Metode ini membiarkan bayi memimpin sendiri proses makannya. Seberapa banyak makanan yang ingin ia lahap, kapan ia ingin makan, kapan ia mengakhiri makannya, bagaimana cara ia makan, apa yang ingin ia lakukan terhadap makanannya, semuanya ditentukan sepenuhnya oleh si bayi.
Yap, si bayi yang memiliki kontrol atas diri dan kemauannya terhadap makanan. Tugas orang tua cukup menyediakan makanan dan mengawasi si bayi pada saat makan.
Lantas mengapa metode pemberian MPASI dengan BLW bisa masuk akal?
Oke, kalau kita mengamati perkembangan bayi sejak ia lahir, kita dapat memahami bahwa setiap bayi dapat berkembang lebih cepat ketika kita memberikan ia kesempatan untuk belajar.
Agar bayi bisa cepat tummy time dan berguling-guling maka kita harus membiarkannya belajar sendiri dengan meletakkan di kasur. Begitu pula untuk proses merangkak, berdiri dan berjalan. Bayi harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi sendiri kemampuannya itu.
Lalu bagaimana dengan proses makan? Bahkan kita bisa lihat sendiri, bayi yang terlahir sehat dan tanpa kendala dalam proses persalinan ibunya bisa langsung merasakan IMD.
Dimana dalam proses IMD, bayi diletakkan begitu saja di dada ibunya, kemudian dengan mengikuti naluri ia akan berusaha sendiri mencari sumber makanan lalu menghisapnya segera setelah berhasil mencapai puting ibunya.
Menjelang usia 6 bulan pun bayi sudah bisa meraih sesuatu lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kita mengenal kebiasaan yang suka memasukkan jari maupun benda-benda di sekitarnya ke dalam mulut ini dengan istilah fase oral.
Nah, bukannkah dari fase ini sudah jelas menunjukkan bahwa sebenarnya bayi memiliki kemampuan untuk makan sendiri berdasar nalurinya?
Plus Minus Metode Baby Lead Weaning (BLW)
gambar : mamapapa.id |
Metode pemberian MPASI yang langsung mengenalkan bayi pada makanan padat ini memang tampak masuk akal namun tak dipungkiri kehadirannya juga mengundang kontroversi.
Banyak yang pro namun tidak sedikit pula yang kontra dengan BLW karena seperti halnya metode lain, metode ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Mereka yang pro BLW pastinya lebih melihat pada kelebihan dari metode ini, sebaliknya yang kontra justru terfokus pada kekurangannya. Kalau kamu masuk tim yang mana nih, pro atau kontra? Kalau saya pribadi masuk tim netral saja, tidak pro tidak juga kontra dengan BLW.
Ya, meski untuk makanan beratnya saya lebih memilih memberikan MPASI pada Zhaf dengan metode active-respon feeding or spoon feeding sesuai dengan panduan MPASI WHO, namun untuk snack atau cemilannya baik berupa biskuit maupun buah sering saya berikan pada Zhaf dengan dengan menerapkan metode BLW.
FYI, saya sebenarnya sudah menerapkan BLW, bahkan sedari si kecil mulai MPASI namun tidak totally. Jujur saja, saya memang tidak siap menerapkan BLW pada MPASI Zhaf karena kekurangannya. Namun karena kelebihannya pula saya merasa tetap harus mengenalkan metode BLW walau saat itu dia baru belajar makan.
Jadi berdasarkan referensi yang saya baca, kelebihan dari metode BLW lebih banyak dibanding kekurangannya. Berikut beberapa plus dari metode BLW.
Makan menjadi kegiatan yang menyenangkan
Kegiatan makan seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan. Akan tetapi pada umumnya yang terjadi pada metode feeding konvensional justru sebaliknya. Anak kerap dipaksa untuk menghabiskan makanan yang mungkin tidak ia sukai atau ia tolak karena sudah kenyang.
Sementara tidak sedikit orang khususnya si Ibu sampai pusing bahkan stres menghadapi anaknya yang tidak mau buka mulut atau sulit makan.
Keadaan seperti itu temukan dalam penerapan BLW karena metode ini benar-benar membebaskan anak makan sesuai keinginan dan nalurinya. Anak yang sepenuhnya memegang kendali terhadap makanannya. Tugas orang tua sebatas menyediakan makanan dan mengawasi anaknya saat makan.
Mengembangkan Potensi Bayi
Ada banyak potensi yang bisa berkembang saat bayi dibiarkan makan dengan mengambil dan menggenggam makanannya sendiri. Ketika ia mengambil makanannya, motorik halusnya akan terstimulasi. Lewat genggaman ia bisa mengekplorasi makanan dengan berbagai ukuran dan tekstur yang dapat meningkatkan kecekatannya.
Begitupula ketika ia hendak memasukkan makanan ke dalam mulutnya, ia akan belajar koordinasi mata dan tangan. Hal tersebut konon dapat membantu keterampilannya dalam menulis dan menggambar nanti. Kegiatan mengunyah makanan padat yang disajikan dengan tekstur lembut pun dapat melatih otot-otot wajahnya yang akan berhubungan dengan proses belajar bicaranya kelak.
Mengatasi Gerakan Tutup Mulut (GTM)
Salah satu momok yang dikhawatirkan ibuk-ibuk ketika anaknya mulai MPASI adalah GTM, yakni gerakan si kecil yang tidak mau membuka mulut ketika disuapi. Aksi GTM si kecil ini sering sekali dihadapi Ibuk-ibuk terutama bagi mereka yang menerapkan pemberian MPASI secara konvensional atau spoon feeding.
Nah, metode BLW dianggap dapat mengatasi GTM karena terbukti tidak sedikit ibuk-ibuk yang mengaku setelah menerapkan metode ini anaknya yang sempat GTM jadi sangat menikmati makan.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ketika anak dibiarkan makan sendiri, ia akan bebas mengeksplorasi makanannya. Dari kegiatan eksplorasi tersebut anak pun bisa dengan mudah mengenali makanan apa yang ia sukai dan makanan apa yang tidak ia sukai.
Melatih Keterampilan Mengunyah Bayi
Jika metode spoon feeding lebih melatih keterampilan pada awal MPASI dengan makanan dalam bentuk puree maka metode BLW ini justru lebih mengutamakan keterampilan mengunyah dengan langsung mengenalkan si kecil makanan padat. Dan seperti yang kita ketahui, keterampilan mengunyah ini dapat merangsang pertumbuhan gigi bayi dengan cepat.
Mudah dan Praktis
Dibanding dengan spoon feeding, metode pemberian MPASI dengan BLW ini tentu jauh lebih mudah dan praktis. Kita tidak perlu memberikan makanan pada bayi dalam bentuk puree yang prosesnya harus dimasak dulu hingga jadi bubur lalu disaring atau dicincang untuk bayi yang sudah makan nasi tim.
Kita juga tidak perlu repot-repot menyuapi bayi. Cukup sajikan makanan dalam bentuk padat dengan tekstur yang lembut agar mudah dikunyah bayi dan jangan lupa tetap awasi kegiatan bayi pada saat makan. Sesimple itu metode BLW.
Selain kelima poin di atas masih banyak lagi kelebihan BLW yang tidak perlu saya sebutkan semuanya (silakan kamu cari kelebihannya sendiri ya, hehe).
Namun seperti yang sudah saya singgung, metode ini juga tidak luput dari kekurangan. Nah, sejauh ini dari beberapa referensi yang saya baca saya hanya menemukan tiga kekurangan dari BLW. Kekurangannya apa saja?
Tersedak
Bayi yang baru mulai belajar makan dan langsung dikenalkan dengan makanan padat tentu akan memiliki risiko tersedak lebih besar dibanding bayi yang diberi makanan lumat yang disaring. Meski bagi para praktisi BLW, hal ini seharusnya bukanlah menjadi kekurangan karena setiap bayi yang baru belajar makan pasti berisiko mengalami tersedak.
Orang tua pun seharusnya tidak perlu khawatir bila si bayi tersedak saat makan karena ia memiliki respons gagging, yakni respons alami si kecil untuk menangani makanan yang masuk terlalu jauh ke dalam mulutnya. Zhaf sendiri sempat beberapa kali mengalami gagging.
Saya ingat sekali waktu si kecil baru belajar makan di usia 6 bulan, saya dan ayahnya sudah memberikan cemilan finger food berupa buah pepaya.
Nah, saat makan buah pepaya itu Zhaf sempat tersedak dan bersuara “hoek”, tidak lama kemudian keluar dari mulutnya buah pepaya seukuran dadu. Duh, saya lihatnya sempat panik juga, untung saja Zhaf berhasil mengeluarkan buah yang tidak dikunyahnya itu.
Meski demikian orang tua tetap harus mengawasi bayi pada saat makan karena selain gagging, adapula respons tersedak yang patut diwaspadai karena bila terjadi bayi tidak dapat bernapas. Saat bayi tersedak dan tidak bisa bernafas inilah yang disebut choking. Jadi berbeda ya antara gagging dan choking.
Berantakan
Salah satu risiko yang juga harus ditanggung orang tua ketika menerapkan metode BLW adalah berantakan. Ya, kondisi si kecil bila dibiarkan makan sendiri pastinya akan berantakan.
Tentu ketika disuguhkan makanan, ia tidak akan langsung melahap makanannya melainkan mengeksplorasinya terlebih dahulu. Menjadikan makanannya sebagai mainan sehingga tangan dan bagian tubuhnya yang lain pun akan belepotan.
Kekurangan nutrisi
Risiko yang satu ini merupan alasan utama mengapa banyak para dokter khususnya IDAI tidak menyarankan pemberian MPASI dengan metode BLW.
Metode ini dianggap tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi karena biasanya menu yang dihidangkan dalam BLW adalah buat atau sayur yang dikukus sementara bayi juga sangat membutuhkan daging yang merupakan sumber zat besi utama.
Lalu mengapa tidak memilih untuk menerapkan metode BLW sepenuhnya saja pada MPASI Zhaf, toh kelebihan dari metode ini lebih banyak daripada kekurangannya?
Bagi saya metode BLW bukan hanya menyangkut masalah pilihan melainkan juga kesiapan. Saya baru mengenal metode ini beberapa hari sebelum Zhaf mulai memasuki masa MPASI.
Belum terlambat memang namun butuh kesiapan ekstra bila saya benar-benar ingin menerapkan metode yang mengajarkan bayi makan secara mandiri ini.
Apalagi saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena ayahnya juga ikut terlibat. Ah, saya jadi ingat dengan drama yang terjadi menjelang Zhaf MPASI hanya karena saya dan ayahnya berbeda pendapat terkait menu makanan pertama apa yang akan kami berikan padanya.
See! Baru masalah menu makanan pertama saja kami sudah bertentangan, apalagi bila saya tambah dengan mengusulkan metode pemberian MPASI seperti BLW ini. Entah drama apa yang akan terjadi, hehe.
Selain itu jujur saja, saya memang tidak siap menerima risiko yang akan terjadi bila saya ngotot menerapkan metode ini secara full dengan pengetahuan tentang BLW yang masih minim.
Untuk itu saya lebih memilih menggunakan metode pemberian MPASI sesuai panduan MPASI WHO dan juga direkomendasikan IDAI secara dominan. Namun sekali lagi bukan berarti saya kontra dengan BLW, karena tak dimungkiri ini metode pemberian MPASI yang sangat bagus, dimana bayi sejak pertama mengenal makanan selain ASI langsung diajarkan makan secara mandiri, mengikuti nalurinya.
Makan menjadi proses belajar yang menyenangkan juga baginya sekaligus merupakan proses ia melatih mengembangkan potensi dirinya.
So far, menerapkan BLW atau tidak bukan hanya kembali pada pilihan masing-masing orang tua tetapi juga kembali pada kesiapan ayah, bunda dan tentu saja si kecil.
Jika kita ingin menerapkan metode ini memang sebaiknya dikombinasikan dengan metode konvensional. Ada pula yang berpendapat bahwa sebaiknya metode BLW baru dikenalkan anak setelah usianya menginjak 8 bulan, karena pada saat itu kondisi dan kemampuan si kecil sudah lebih siap untuk diajarkan makan secara mandiri.
Baiklah sekian dulu cerita terkait MPASI 8 bulan Zhaf yang menyinggung sedikit tentang BLW. Sampai jumpa di cerita MPASI selanjutnya dengan topik yang berbeda.
Salam,
70 komentar untuk "MPASI 8 Bulan Zhaf : Mulai BLW?"
Jadi inget dulu kalo anakku makan agak rewel, aku nyalakan TV yang memutar film anak2 dan lagu2 anak *zaman dulu masih banyak tayangan lagu2 anak di TV :D Nonton itu sambil makan, cepet habis makannya haha.
Kalo MPASI, betul kata mba Siska kudu mengacu WHO aja
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Nah kalo BLW ini kubaru tau huahaaa, soalnya ga punya anak baby, jadinya lupa dan ga apdet.Makasih loh sharingnya, ku jadi tauu..
Menurut dokter bagus jika sesekali, namun jangan terus-terusan.
Karena dengan bisa jadi anak kekurangan nutrisi
Apalagi jika dilakukan pada bayi yang masih usia di bawah 1 tahun
Saya saja dulu sering konflik sama mertua soal ini
btw, kebolak-balik nih kepanjangannya BLW. Hehehe
Andalan saya dulu perkedel 😀 karna bocil suka banget. Lagipula praktis xixixi.
Zamanku dulu..pas inet belum kaya sekarang, infonya dikit banget.
Jadi antara anak pertama dan kedua, berbeda treatment.
Jadi menurutku tetep yaa...otangtua boleh idealis, tapi tetap mengikuti kemampuan masing-masing anak.
Untuk tahu gimana?
Di cobakan masing-masing metode.
Semoga tetap semangaaatt, Bunay...
@perempuankopi
Mnrt syaa apapun metodenya yg penting anak nyaman , dan harus sehat juga higenis
jadi biasanya saka suka search di google atai bertanya ke teman. takutmya nanti saya salah memberi menu makanan tambahan untuk anak saya.
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.