Media Sosial; Before and After Married
Setiap orang tentu punya pandangan tersendiri mengenai media sosial. Dan ini pandangan saya tentang media sosial, sebelum dan setelah menikah.
Why? Pasti kalian juga menganggap media sosial dan sosial medial memiliki arti yang sama ya? Oke, artinya memang dianggap sama tapi apakah cara penulisannya sudah benar? Penjelasannya saya kutip langsung saja yak dari artikel yang sempat saya baca.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Sosial media atau media sosial?
Selama ini saya sering dibingungkan dengan dua istilah itu. Pasalnya saya biasa
nulis pake istilah media sosial tapi kok orang-orang banyak yang nulisnya pake
istilah sosial media ya? Eikee kan jadi bingung sampai-sampai sempat kepikiran
jangan-jangan saya yang salah. Kemarin-kemarin nggak pernah juga berusaha cari
tahu mana yang benar. Alhasil, dalam menulis pun saya jadi nggak konsisten.
Kadang-kadang nulis pake istilah sosial media tapi lebih seringnya pake istilah
media sosial.
Well, saya baru tergelitik mencari tahu keduanya saat hendak menulis postingan ini. Kenapa? Karena tantangan ngeblog hari ke-lima ini adalah "Tentang Media Sosial". Jadi, sebelum membahas tentang media sosial, ada baiknya saya telusuri dulu mana yang benar, media sosial atau sosial media?
Well, saya baru tergelitik mencari tahu keduanya saat hendak menulis postingan ini. Kenapa? Karena tantangan ngeblog hari ke-lima ini adalah "Tentang Media Sosial". Jadi, sebelum membahas tentang media sosial, ada baiknya saya telusuri dulu mana yang benar, media sosial atau sosial media?
Dan ternyata setelah menelusuri
lewat pertanyaan yang saya ajukan pada eyang google jawaban benar yang saya
temukan adalah MEDIA
SOSIAL .
Why? Pasti kalian juga menganggap media sosial dan sosial medial memiliki arti yang sama ya? Oke, artinya memang dianggap sama tapi apakah cara penulisannya sudah benar? Penjelasannya saya kutip langsung saja yak dari artikel yang sempat saya baca.
Kata sosial media yang sering
digunakan saat ini, sebenarnya merupakan kata serapan secara informal dari
kata social media yang ada di dalam bahasa Inggris. Hanya
saja, saat menyerap kata itu, banyak orang tidak memperhatikan perbedaan
struktur yang ada pada bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Bahasa Inggris memiliki struktur
bahasa yang berbasis pada MD atau Menerangkan Diterangkan. Artinya, jika ada
kata sifat dan kata benda yang berurutan dalam satu frasa atau kalimat, maka
yang didahulukan adalah kata sifatnya yang menerangkan, baru setelah itu masuk
kata benda yang diterangkan. Contohnya adalah red car, smart people,
pretty girl, dan lain-lain.
Sedangkan bahasa Indonesia
memiliki landasan struktur yang berbeda. Struktur bahasa Indonesia berbasis
pada DM atau Diterangkan Menerangkan. Artinya, jika ada kata sifat dan kata
benda yang berurutan dalam satu frasa atau kalimat, maka yang didahulukan
adalah kata bendanya yang diterangkan, baru setelah itu masuk kata sifat yang
menerangkan. Contohnya adalah red car tidak diartikan merah
mobil di dalam bahasa Indonesia, melainkan mobil merah. Begitu pula dengan
orang pintar dan gadis cantik. Perhatikan bahwa gadis (yang diterangkan)
disebutkan terlebih dulu dibanding cantik (yang menerangkan). Kalau dalam
bahasa Inggris, kata pretty (yang menerangkan) disebutkan
lebih dulu dibanding girl (yang diterangkan).
(Sumber : http://sastranesia.com/mana-yang-benar-sosial-media-atau-media-sosial/ )
Jadi setelah membaca artikel
tersebut saya rasa saya nggak perlu bingung lagi mau pake istilah yang mana.
Lagipula para pembaca juga nggak bakal protes, mau pake kata sosmed atau
medsos sama saja bagi mereka, tapi sebagai warga negara Indonesia yang baik
sebaiknya memang kita menuliskan kata serapan sesuai kaidahnya atau menulis
sesuai dengan kata aslinya.
Seperti halnya menuliskan kata hoax. Nah,
hoax ini merupakan kata asli dari bahasa Inggris yang ketika diserap dalam
bahasa Indonesia menjadi hoaks. Baik menulis hoax maupun
hoaks, keduanya sama-sama benar. Berbeda dengan social media yang
memang penulisannya tidak bisa disamakan dengan sosial media. Karena social
media yang merupakan kata asli dari bahasa Inggris ketika diserap
dalam bahasa Indonesia menjadi media sosial.
Beidewei, bila berbicara tentang media
sosial berarti saya harus berbicara pula tentang dua keadaan ini. Before
and after married. Mengingat pandangan saya terhadap media sosial
sebelum dan setelah menikah jauh berbeda. Bahkan boleh dibilang mindset saya terhadap media
sosial sekonyong-konyong berubah 180 derajat pasca nikah.
Before Married
Ibarat orang kampung dulu yang
baru masuk kota. Udik. Atau seperti anak kecil yang dapat mainan baru. Girang.
Begitupula kira-kira ekspresi saya waktu pertama kali bersentuhan dengan media
sosial. Sampai-sampai saking udik dan girangnya, nyaris semua media sosial
pengen saya coba. Akun media sosial mana sih yang saya belum punya?
(Halah, gaya lu😅)
Saya masih ingat sekali, mulai
main medsos sekitar tahun 2008. Mulanya aktif di friendster yang tampilannya
mirip-mirip dengan blog. Temanya bisa digonta-ganti gitu. Eh tapi belum lama
main friendster teman-teman saya pada move ke facebook. Yowes, saya tetap bertahan
di friendster dan sama sekali nggak minat ikutan pindah gegara lihat tampilan
facebook yang tidak semenarik friendster, apalagi waktu itu saya juga
belum ngeh bagaimana cara menggunakan facebook. Sempat
sih bikin akun saja tapi mainnya tetap di friendster.
Singkat cerita, friendster makin
sepi sementara facebook tambah populer. Mau nggak mau saya terpaksa
ikutan move dan mempelajari facebook. Sekalinya tahu cara
menggunakan eh ternyata main di facebook asyik juga. Saya jadi ketagihan dan
akhirnya melupakan friendster yang sudah lama tinggal kenangan.
Setelah kenal platform lain
selain facebook, seperti twitter, blog, instagram, dll ketagihan saya pada
medsos semakin menjadi-jadi. Parahnya, saya pernah berpikir hidup di
dunia maya lebih asyik ketimbang di dunia nyata. Alhasil, waktu saya lebih
banyak terbuang sia-sia, tersita oleh keeksisan di medsos dengan hal-hal yang
nggak jelas. Saya bahkan lebih percaya dengan media sosial, ketimbang
orang-orang terdekat di sekeliling saya. Jadi kalau saya lagi punya
masalah, lagi galau, sedih, merana, baper, jengkel dan bla bla bla yang
terlintas pertama kali buka pergi wudhu, shalat, mengadu pada Allah,
tapi cuss ambil smartphone, update
status.
Demikian pula kalau saya lagi
jalan-jalan, lagi makan-makan, lagi kongkow-kongkow dengan
teman-teman, lagi berada di suatu tempat yang indah, pasti deh kamera foto
nggak ketinggalan. Jepretan untuk satu dua kali mode bisa sampai puluhan kali.
Abis itu pilah pilih mana hasil foto yang paling bagus. Setelah dapat gambar
yang paling sedap dipandang mata, step selanjutnya
langsung di-edit sedemikian rupa trus upload deh ke semua akun media sosial
yang saya punya sembari sesekali mengecek ada yang komentar nggak atau jumlah
likesnya udah berapa. Kalau banyak yang respon, tentu saya senang tapi kalau
sebaliknya atau sama sekali nggak ada yang respon so pasti saya
kecewa🙈
Kok bisa? Yap, karena ada yang
salah dengan niat saya dalam bermedsos kala itu. Sebelum menikah, bagi
saya media sosial adalah tempat berbagi apa saja. Apa yang saya pikirkan,
rasakan, dengarkan, alami, lihat, whatever, semua-semuanya
ingin saya bagikan ke media sosial. Sampai hal-hal yang nggak penting dan nggak
jelas sekali pun. Seolah lewat medsos saya ingin memberitahu segala hal
tentang diri saya pada dunia.
Di facebook saya doyan pasang
status curcol. Di twitter saya suka berkicau. Di Instagram saya hobi upload
foto selfie dengan quotes yang
nggak nyambung. Lebih-lebih di blog yang dulunya saya anggap sebagai diary
online.
Jadi ingat, waktu masih sekolah
hobi saya nulis diary. Diary saya bahkan punya gembok yang kuncinya sengaja
saya simpan di tempat paling aman dan tersembunyi saking takutnya saya bila ada
yang menemukan lalu membaca diary yang isinya adalah curahan hati saya itu. Karena
bagi gadis yang umurnya masih belasan tahun kala itu, masalah perasaaan adalah
sesuatu yang sifatnya sangat rahasia. Sayangnya, setelah mengenal media sosial,
bagi saya perasaan bukan lagi sesuatu yang perlu disembunyikan.
So far, bisa dibilang sebelum menikah saya termasuk
tipe user medsos yang maniak. Alay dalam bermedsos pun pernah. Lebih-lebih
narsis.
After Married
Saya lumayan eksis di media
sosial tapi lelaki yang telah setahun lebih hidup seatap dengan saya, boro-boro
eksis, platform medsos yang dia gunakan selama ini saja cuma ada satu.
Facebook. Kalau pun sekarang ini ada akun Instagramnya, itu karena istrinya
yang iseng bikinin tapi nggak pernah disentuh-sentuh sama dia😂
FYI, saya dan suami termasuk
pasangan yang menempuh proses ta'aruf jarak jauh sebelum memutuskan untuk
menikah. Seharusnya dalam ta'aruf kami itu ada nadzar (bertemu langsung untuk
melihat wajah calon istri/suami) namun karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing
plus jarak Sulawesi-Papua yang lumayan jauh sehingga tidak ada nadzar dalam proses
ta'aruf kami. Padahal nadzar ini penting lho. Kalau menurut Ana (teman
sekaligus sosok yang membantu proses ta'aruf kami kemarin) berdasarkan
pengalamannya, 90% keputusan lanjut tidaknya ta’aruf ke tahap selanjutnya
dipengaruhi oleh hasil dari nadzar.
Yup, karena proses ta'aruf tidak
sama seperti dijodohkan atau ibarat membeli kucing dalam karung. Masing-masing
pihak berhak mengetahui rupa atau sosok calon pasangannya agar tidak terjadi
penyesalan di belakangan hari. Namun saya dan suami mungkin termasuk pasangan
yang ketika ta'aruf nekat kali ya😅 Berani
memutuskan lanjut ke tahap berikutnya tanpa nadzar hanya dengan
mengandalkan tiga hal, ingatan tentang
pertemuan kami yang terjadi tiga tahun sebelumnya dan itu pun cuma sekali, foto
yang sebenarnya tidak cukup mewakili diri, mengingat foto-foto zaman
sekarang begitu gampang dimanipulasi, dan stalking akun media
sosial calon pasangan yang sangat mungkin isinya adalah pencitraan.
Diantara tiga hal tersebut,
memang option ketiga yang menurut saya paling bisa diandalkan. Setidaknya
saya bisa dapat sedikit gambaran tentang calon pasangan lewat
postingan-postingan di akun medsosnya. Namun alangkah terkejutnya saya ketika
men-stalking akun
facebook teman ta'aruf yang sekarang sudah berstatus sebagai suami
saya itu. Benar-benar mengecewakan. Kayak nggak fair saja
sih. Pasalnya, kalau dia mau stalking
tentang saya mah gampang banget. Akun medsos saya tersebar dimana-mana.
Facebook ada, instagram ada, twitter juga. Atau simplenya kalau dia pengen
lebih banyak tahu tentang saya bisa langsung meluncur ke blog ini. Sementara
dia? Bayangkan, saya sampai scroll kronologinya
hingga tahun pertama dia bikin facebook dan nyaris tidak menemukan apa-apa
kecuali postingan-postingan hasil share dan foto-foto lama yang teman-temannya
tag ke doi. Karena tidak puas dengan informasi yang saya dapatkan di akun
facebooknya, isenglah saya memasukkan kata kunci nama calon pasangan di google.
Hasilnya sama saja. Saya kesulitan menemukan informasi tentang calon pasangan
saya itu karena ternyata dia bukan tipe orang yang maniak medsos macam saya.
Heran, kok bisa ya minatnya
terhadap medsos tidak se-excited orang-orang
kebanyakan. Hari gini, orang-orang lagi dimana, sedang apa, bersama siapa dan
bla bla, pasti disiarkan ke media sosial. Setelah menikah pun, foto pernikahan
kami nggak pernah dia unggah ke akunnya apalagi ngarep dia bakal update status
romantis lalu men-tag istrinya ini. Entahlah, gimana nasib hidup
saya bila saat menikah dengan suami sifat saya dalam bermedia sosial masih sama
seperti dulu. Mungkin bisa stress kali ya, nggak kuat hidup dengan tipe suami
yang membatasi ruang gerak istrinya di media sosial. Karena sejak menikah,
suami memang cukup ketat mendidik saya dalam bermedsos. Padahal
sebenarnya geliat saya di medsos sudah berkurang alias nggak seeksis dulu tapi
masih sering saja kena nasihat.
Ingat perasaan orang lain.
Hati-hari riya. Awas 'Ain lho. Begitu nasihat-nasihat kecil yang berkali-kali suami
sampaikan ke saya.
Of course, bagi orang yang sudah terlanjur
maniak, menahan diri untuk tidak memosting apa-apa ke media sosial sungguh
bukan sesuatu yang mudah. Butuh perjuangan. Apalagi kalau itu menyangkut foto.
Foto selfie kita yang tampak cantik, foto anak-anak kita yang lucu nan
menggemaskan atau foto yang menunjukkan kemesraan dengan suami, dll.
Rasanya sampai sekarang pun tangan saya masih sering gatal kalau liat postingan
foto-foto teman medsos yang muncul di beranda saya.
Tapi kira-kira kalian percaya
nggak sih kalau Tuhan baru sudi mengulurkan jodoh yang telah lama Dia tetapkan
dan persiapakan hanya bila keadaan kita sudah mendekati atau persis dengan
keadaan sang jodoh. Atau pasti kalian sudah familiar dengan
pesan ini. Jodoh adalah cerminan
diri kita, benarkah?
Nah, sejujurnya dua tahun sebelum
bertemu jodoh, hati saya mulai terusik dengan yang namanya riya, ujub dan
sejenisnya. Pun merasa ada yang salah dengan keeksisan saya di media sosial.
Akhirnya saya jadi sering galau dan banyak-banyak merenung. Siapa sangka hasil
dari kegalauan saya itu melahirkan dua postingan yang yang saya jadikan reminder dalam
bermedsos.
Perlahan saya mulai belajar untuk
tidak memosting foto-foto yang menampakkan wajah saya ke media sosial dan
menghapus semua foto selfie yang terlanjur saya upload ke medsos terutama di
Instagram atas kesadaran diri saya sendiri. Jadi ketika saya ternyata berjodoh
dengan tipe suami yang agak keras, tidak membolehkan istrinya mengunggah foto
diri ke media sosial, media sosial, itu tidak lagi susah buat saya. Saya pun no problem dengan
sikap suami yang terkesan jutek banget dengan istrinya di khalayak maya. Sekali
pun dia sampai berulang kali minta maaf gara-gara nggak bisa bersikap seperti
suami lainnya yang sering menampakkan sisi romantis mereka di medsos. Padahal
saya nggak pernah protes atau nuntut dia harus pasang foto berdua kami di akun
medsosnya atau bikin status romantis lalu men-tag istri tercintanya ini😅
Belakangan baru saya
sadari ternyata memang benar ya, jodoh itu adalah cerminan diri kita, which is Allah
baru mempertemukan saya dengan suami ketika kami sudah berada dalam satu
frekuensi yang sama atau setidaknya saya dan suami baru dipersatukan ketika mindset kami
terhadap media sosial tidak jauh berbeda.
Lha memangnya posting kebersamaan
dengan pasangan adalah perbuatan yang salah ya?
Ya nggak salah-lah, tapi kalau
ada yang mengajukan pertanyaan tersebut, biarlah caption dari @sriekasutriyani, teman IG saya ini
yang mewakili jawabannya.
"Tapi tidak semua yang halal
boleh ditampakkan dan dipamerkan di hadapan banyak orang bukan? Eh tapi tidak
ada yang melarang. Itu hanya pilihan kami saja"
Ngomong-ngomong tentang pamer
atau istilah kerennya riya' sebenarnya saya pengen no comment saja karena
riya itu masalah hati dan hanya Allah yang paling tahu hati-hati hamba-Nya.
Tapi karena wabah riya ini paling mudah menjangkit masyarakat medsos jadi saya
pengen komen dikit. Kalau kita anggap orang yang suka pamer di media sosial itu
riya, sama saja kita su'udzon (berburuk sangka) atau meski kita nggak
suka pamer apa-apa di medsos tapi merasa lebih baik dari orang yang suka pamer,
itu sama saja dengan sombong.
Yap, semua tergantung niat yang muncul di hati
kita ketika bermedsos. Pintar-pintarnya kita saja menjaga hati.
Lagipula tidak semua orang yang menggunakan medsos niatnya cuma untuk pamer
saja. Ada kok yang niatnya untuk mencari rejeki, ada yang niatnya murni berbagi
ilmu, berbagi pengalaman, ada pula yang niatnya memang untuk menginspirasi.
Nah, sampai saat ini medsos masih
menjadi tempat saya untuk berbagi. Hanya saja setelah menikah saya tidak lagi
berpikir bahwa segala hal tentang diri dan kehidupan saya mesti saya umbar ke
media sosial. Bahwa tidak semua foto yang menampakkan wajah saya dan keluarga
saya bebas jadi konsumsi publik. Bahwa sama halnya dengan dunia nyata, di dunia
maya pun ada yang namanya privacy.
Oke, sekian dulu postingan saya
di tantangan kali ini. Kalau berbicara tentang media sosial memang nggak ada
habis-habisnya jadi kalau ada yang pengen ikutan beri pandangan berbeda,
langsung saja yuk tinggalkan jejak di kolom komentar.
Salam,
9 komentar untuk "Media Sosial; Before and After Married"
anyway, sepertinya semakin hari semakin bijak bersosmed, khususnya tentang apa yang pantas dan layak disampaikan ke sosmed atau bukan. memang seperti itulah, sosmed bisa menjadi pembelajaran yg baik utk kita semua ttg apa saja yang perlu "disosialkan"...
Saya kagum sama orang-orang seperti itu.
Sekarang pun saya sangat membatasi apa yang saya bagikan di media sosial. Pilih dan pilah. Tidak kayak dulu yang mau buang air besar saja posting di medsos hahaha.
Terima kasih untuk penjelasan Medsos dan sosmed nya kak, jadi bisa tahu dasarnya
saya padahal pernah nulis khusus lho tentang bersosial media, bukan bermedia sosial, hihih.
waduuhh, apa ndak gemess itu waktu stalking cari tahu tentang calon suami tapi tidak menemukan apa-apa ttg dirinya? Jadi, gimana itu sampai bisa bilang iyah? *jadi kepo, hihihih
pasangan memang selalu bisa buat kita berubah yaaa, dan semua selalu berubah ke jalan yg lebih baik :)
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.