Doyan Bermedia Sosial? Suka Stalking? Boleh, Asal Jangan Jadi Maniak
sumber gambar : maxmanroe.com |
Apakah kamu termasuk user internet yang memiliki banyak akun di media sosial, merasa sesak hidup tanpa kuota, hari-hari rajin pasang status di facebook, update tweet di twitter, unggah picture yang dihiasi caption di Instagram, posting tulisan di blog dan sebangsanya. Kalau iya maka bisa dipastikan kamu tergolong type pertama. Si maniak medsos.
Ataukah kamu termasuk user internet yang punya banyak akun di media sosial tapi jarang update di lini masa. Online sebatas menelusuri kehidupan maya orang-orang di sekitar kamu. Atau diam-diam kamu doyan kepo segala aktivitas teman-teman terdekat kamu di media sosial. Kalau iya berarti kamu termasuk type kedua. Si stalker.
Oh ya selain kedua type tersebut ada pula user yang maniak medsos plus merangkap sebagai si maniak stalker *nunjuk diri. Dan tentu tidak semua user internet adalah si maniak medsos sekaligus si maniak stalker *nunjuk suami, hehe
Jujur saja, saya termasuk type maniak medsos yang memiliki banyak akun di media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, Google plus, Path, Tumblr, Blog hingga applikasi chatting seperti BBM, Line, WhatsApp, dll. Nyaris tiada hari yang saya lewati tanpa berselancar di dunia maya. Saking maniaknya saya dengan yang namanya media sosial. Eh bukan maniak saja, saya juga doyan stalking macam-macam. Ups!
Beda banget dengan suami yang nggak begitu peduli dengan dunia maya. Facebook dan BBM, cuma itu akun medsosnya yang menjalin pertemanan dengan saya sebelum kami berproses. Saya malah baru berteman di WhatsApp dan Line dengan suami yang ketika itu masih berstatus calon menjelang pernikahan kami. Selain keempat akun media sosial tersebut, nope. Suami juga nggak suka mengumbar apa-apa di akun media sosialnya. Online pun hanya sesekali. Dan yang paling penting, dia bukan type lelaki yang suka stalking hal-hal yang gaje. Tidak seperti istrinya ini yang sehari tanpa main medsos dan stalking apa saja hidup sudah terasa begitu hampa.
Mulanya saya sempat heran dan merasa aneh. Kok di era serba medsos masih ada orang yang nggak ketagihan berselancar di dunia maya. Padahal rata-rata orang zaman now sudah kecanduan ber-medsos ria dan dia sama sekali tidak. Kok bisa ya? Etapi sekarang setelah genap setengah tahun hidup seatap dengannya, saya nggak heran dan merasa aneh lagi. Kami sudah sering bertukar pikiran dan ternyata memang banyak pikiran-pikiran saya yang nggak sejalan dengan pikiran suami.
Seperti aktivitas di media sosial yang bagi suami hanya sebagai selingan sementara bagi saya media sosial sudah menjadi kebutuhan. Suami tidak suka memiliki banyak akun di media sosial sedangkan saya malah sebaliknya. Suami juga tidak suka mengumbar apa-apa di media sosial karena begitu menjaga perasaan orang lain. Dia sangat khawatir bila postingan-postingannya nanti akan mengundang penyakit hati atau 'ain dari orang yang melihatnya.
Menurut saya pemikirannya itu terlalu berlebihan, apa salahnya berbagi kebahagiaan, kesedihan dan segala hal di media sosial. Toh, orang lain juga ketika mengumbar kebahagiaan dan segala tetek bengeknya, mulai dari jalan-jalannya, makanannya, kegiatannya dsb tidak pernah memikirkan perasaan kita. Lantas kenapa kita yang harus menjaga perasaan mereka?
Ketika diajak berdiskusi panjang lebar dengan suami mengenai hal tersebut, saya jadi banyak belajar dari pemikiran suami yang kalau dipikir-pikir memang ada benarnya dan masuk akal juga. Apa manfaatnya mengumbar segalanya di medsos? Berbagi kebahagiaan untuk apa, mau ditujukan kepada siapa? Bagaimana bila postingan kebahagiaan kita mengundang penyakit di hati orang lain? Lebih-lebih bila maniaknya kita sampai memosting hal-hal yang menyangkut privacy di media sosial sehingga tak ada lagi hijab antara dunia maya dan dunia nyata.
Maka orang-orang di maya sana bebas mengeskpos apa saja terkait diri kita dan parahnya kita sama sekali tidak merasa risih. Menganggap semua itu lumrah. Sehingga wajar pula bila banyak orang bisa mengakses informasi apa pun terkait diri kita meski kita tidak pernah memberitahu keberadaan, kondisi, pikiran dan perasaan kita secara langsung.
Sadar atau tanpa disadari dibalik aktivitas kita yang doyan eksis di dunia maya bakal ada sebagian orang yang diam-diam sering membuntuti kita, yang tanpa menunjukkan diri kerap mengintip tingkah kita di media sosial. Di dunia nyata orang-orang yang demikian disebut penguntit. Begitu istilah kasarnya. Istilah halusnya mungkin disebut dengan secret admirer (pengagum rahasia). Nah, di dunia maya kedua istilah tersebut menyatu menjadi sebuah kata yang konotasinya memuat makna halus (positif) dan kasar (negatif), yakni stalker.
Ya, masalahnya kita tidak tahu apa motif dibalik orang yang sembunyi-sembunyi suka memperhatikan kita. Entah bermaksud baik atau buruk. Kita tidak bisa mendeteksi siapa-siapa yang mungkin pernah hatinya tergores oleh sikap dan tutur kata kita yang ternyata melukai hingga mengendap menjelma dendam. Kita pun tidak bisa melacak siapa-siapa yang hatinya tersentuh oleh perangai kita yang memesona hingga memekarkan sebuah rasa.
Well, sebagai si maniak medsos ya kita harus siap menerima konsekuensi, selain kuota internet yang cepat ludes, waktu luang banyak terlalaikan, kecanduan gadget, aktivitas kita bersancar di medsos juga bakal di-stalking oleh orang-orang yang memang doyan mengawasi kita di dunia maya entah dengan maksud apa. Ada yang mungkin sekadar stalking tanpa maksud apa-apa, ada yang mungkin punya maksud u dibalik b. Boleh jadi karena benci atau sakit hati yang dipendam atau boleh jadi karena suka dan jatuh hati diam-diam. Bisa saja demikian. Kalau bermaksud baik sih nggak masalah tapi kalau ada yang punya niat jahat dengan kita lalu sengaja mencari kelemahan atau kekurangan lewat kekepoan dia terhadap akun media sosial kita itu yang bahaya bin darurat. Oh ya, si maniak medsos ini juga rawan terjangkit penyakit hati yang bernama riya', ujub dan sombong.
Demikian pula dengan si maniak stalker, hidupnya nggak bakal tenang karena hari-hari yang ia lakukan hanyalah sibuk melihat dan memperhatikan kehidupan orang lain dari layar gadget sampai-sampai luput dengan kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi diri sendiri, karena keseringan stalking, orang yang maniak stalker bakal terpengaruh ingin menjadi orang lain, nekat meniru style orang yang sering ia ikuti timelinenya di dunia maya. Lebih-lebih bagi stalker yang maniak stalking masa lalu, dijamin hidupnya nggak bakal berkembang, nggak bakal maju-maju karena ia terus larut dengan masa lalunya yang telah berlalu dan mustahil bisa diputar kembali. Masa lalu yang sering ia stalking itu menjelma tameng yang menghalangi sehingga ia sulit fokus mengejar masa depannya yang masih cerah nan gemilang. Besar tidak menutup kemungkinan, akibat suka stalking hatinya juga jadi gampang digerogoti oleh penyakit hati yang sangat mematikan. Iri, dengki, dendam bahkan hubbuddunya (cinta dunia).
Semenjak menikah dan bertukar pikiran dengan suami itulah saya baru menyadari jelas efek negatif yang ditimbulkan dari maniak dalam ber-media sosial mau pun stalking yang sebelumnya masih samar dalam pandangan saya. Selama ini saya menganggap lumrah saja bila saya punya banyak akun media sosial di dunia maya. Saya menganggap biasa saja bila menelusuri akun media sosial orang lain baik yang saya kenal mau pun tidak tanpa batas. Tapi ternyata dua hal yang saya anggap lumrah dan biasa saja itu justru tidak wajar dalam ajaran agama.
Sesuatu yang alay bin lebay, over, kelewat pede berlebih-lebihan, mubazir, boros dan sebangsanya tidak diajarkan dalam Islam. Pelit, kikir. minder, less, minus dan sejenisnya juga tidak dianjurkan dalam Islam. Sebah islam adalah agama washatan , pertengahan; tidak lebih dan tidak kurang, sehingga sebagai penganutnya seharusnya kita menerapkan konsep wasathan ini dalam melakukan hal apa pun. Makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang. Tidak boros dalam berbelanja namun tidak juga kikir untuk berbagi kepada sesama terutama yang membutuhkan santunan kita. Termasuk dalam beribadah pun kita dilarang berlebih-lebihan mau pun mengurang-ngurangi. Menambah-nambah atau mengurang-ngurangi gerakan dalam shalat yang bahkan tidak pernah dicontohkan oleh Rasullullaah shallallaahu 'alaihi wassalam atau beribadah (shalat) terus menerus di masjid tanpa melakukan amalan lain di luar masjid pun sebaliknya, ibadah yang demikian bakal tertolak.
Nah, maniak ini bagian dari alay, lebay, berlebih-lebihan dan seterusnya dan you know, kan, yang namanya berlebihan pasti nggak baik, pasti ujung-ujungnya berdampak kerusakan so that alangkah baiknya bila kita bisa menjadi user internet yang bijak, yang pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bermedia sosial boleh Stalking boleh. Asal jangan maniak yaaa...
*catatan ini ditulis sebagai reminder bagi diri pribadi khususnya
*catatan ini ditulis sebagai reminder bagi diri pribadi khususnya
#ODOPOKT13
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
9 komentar untuk "Doyan Bermedia Sosial? Suka Stalking? Boleh, Asal Jangan Jadi Maniak"
Tapi itu bukan akun pribadi sih, melainkan akun2 yg tujuan gue sih bisa bermanfaat. Hehe
Malah akun pribadi jarang2 gue upload. Kwkwk
Entahlah. Gue gak punya tujuan klo upload di sosial media pribadi. Entah apa tujuannya. Gue lebih suka orang banyak yang gak tau gue lagi ngapain dan ngapain. Hehe
emang punya banyak akun medsos, tapi ga suka update sih.
paling ngepost 1 kali seminggu atau walaupun kadang lagi dimana nggak update juga. beberapa hari baru mungkin di post.
kadang ga mood juga sih.
juga buat stalking orang pun malas, -_-
jadi masuk yang mana ni wkwkwkwkw
gue enggak punya gebetan, tapi cewek yang gue ngarep sih ada. hihi. gue enggak bisa stalker dia. soalnya dia enggak aktif lagi di medsos. paling gue mainan medsos facebook, instagram, sama blog doang. itu juga semuanya jarang update. hihi
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.