Menikah (Cinta Pilihan Terakhir)
Barangkali tak perlu penjelasan apa-apa. Cukup judul dari postingan ini yang menjelaskan semuanya.
Atau takdir yang akan aku jalani nantinya, yang membuktikan.
Entahlah, Ar!
Mengenai catatan bertajuk "Menikah (Cinta Pilihan Terakhir)", aku sudah mulai menulisnya sejak Desember lalu. Hitunglah; nyaris genap setahun. Sudah ribuan atau puluhan ribu kata yang berhasil aku ketik, sudah sedemikian panjang alasan yang kuuturakan di sana, sedetail-detailnya, serinci-rincinya.
Aku merasa perlu menjelaskan panjang lebar padamu pilihan-pilihan yang aku ubah secara sepihak, sengaja tanpa meminta tanggapanmu. Percuma juga, kan! Aku-nya selalu ngotot dan kamunya rajin ngalah, jadi kita Klop. Tanpa perlu memaksa pilihanku, kamu pasti cuma iya-iya-in doang.
Aku bahkan telah memaparkannya berkali-kali lipat lebih panjang dari catatan yang sebelum ini. Namun dalam hitungan detik saja. Qadarullaah. Catatan yang belum menemui endingnya itu terhapus bulan Maret silam dan aku cuma tersenyum getir, merelakan.
Sayang sekali, Tuhan tidak menakdir kamu membaca catatanku yang itu. Andai kamu membacanya, kamu bakal berdecakkagum ketawa. Saking, seriusnya aku membahas soal nikah dan cinta. Sepertinya. (Uhft, ingatanku benar-benar payah).
Padahal berkali-kali aku berusaha menulis kembali dengan maksud yang serupa, tetap tidak bisa. Nyaris tak ada kalimat yang tersisa dalam ingatanku kecuali judul di atas, kamu dan pilihan yang kamu tawarkan ke aku.
Masih ingat kan? Kamu menawarkan aku dua pilihan. Cinta satu arah (semisal; meniadakan cinta dua arah)
Menikah dengan orang yang kakak cintai (meski dia tak cinta)
Atau menikah dengan orang yang mencintai kakak (meski kakak tak cinta)
Oh ya, Ar. Pertanyaan kamu itu serupa lho dengan yang dituturkan Nazrul Anwar dalam GENAP-nya, dan mungkin masih banyak juga orang di luar sana yang mengajukan tanya yang sama.
“Seandainya kamu dihadapkan pada dua pilihan, siapa yang lebih kamu pilih untuk menggenapi kehidupan kamu? Seseorang yang kamu cintai tapi dia tidak mencintai kamu, atau seseorang yang mencintai kamu tapi tidak kamu cintai?”
“Menggenap bersama seseorang yang mencintai aku, walaupun aku tiidak mencintainya.”
“Kenapa begitu?”
“Karena berusaha untuk mencintai orang lain, selalu lebih mudah daripada membuat orang lain mencintai kita. Cinta itu adanya di hati. Hati yang merasakannya. Dan kita hanya bisa mengendalikan dan mengkondisikan hatinya kita, bukan hatinya orang lain. Seberapa besarpun usaha kita untuk membuat orang lain mencintai kita, pada akhirnya yang memutuskan apakah dia mencintai kita atau bukan ya dia, bukan kita. Hatinya yang merasakan, bukan hatinya kita. Sama halnya, jika ada seseorang yang melukai hati kita, membuat kita kecewa atau sederet perasaan menyakitkan lainnya, pada akhirnya, kita sendiri yang harus menyembuhkan luka itu. Tak perlu menunggu ucapan maaf, atau mengharapkan orang lain yang menyembuhkannya. Karena sekali lagi, yang bisa kita kendalikan adalah hati punya kita sendiri. Bukan hatinya orang lain.”
“…”
Jawaban sederhana yang juga persis dengan penjabaranku di sini.
Tentu. Kita sudah sepakat dengan hal tersebut. Tetapi, setelahnya ada yang menelisik pikiranku. Hatiku pun ikut terganjal.
Lalu aku mulai bertanya-tanya dalam waktu yang lama, merasai sendiri ; hingga Tuhan seakan menuntunku (kembali) menemui jawabnya.
Bahkan, bila kondisinya adalah cinta dua arah (yang sengaja kamu tiadakan); orang yang saling cinta pun belum tentu menikah, Ar.
Lihat saja! Betapa banyak orang yang menjalin kasih tak halal (pacaran hingga belasan tahun lamanya) tak bersanding di pelaminan yang sama atau bila sampai di pelaminan pun hubungannya rentan dengan kata perceraian. Sebaliknya, tak sedikit pula yang menikah karena perjodohan (melalui biro jodoh atau fase ta'aruf) yang pernikahannya awet dan langgeng sampai kakek-nenek bahkan dunia-akhirat padahal sebelumnya jangankan ada rasa, kenal ; sayang-sayangan pun tidak!
Hmm. Aku jadi berpikir seperti ini. Kamu jangan sampai tersinggung ya, Ar. Ini berdasarkan pengamatan dan opiniku saja. Benarnya, wallaahu a'lam.
Pilihan yang kamu tawarkan memang tidak keliru. Tapi ada satu hal yang kamu luput darinya atau entah sengaja kamu indahkan.
Kamu hanya mengaitkan menikah dan cinta. Seolah-olah Menikah tanpa Cinta, tidak bahagia! Lalu bagaimana dengan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta. Pernikahan yang hanya dilandaskan kerelaan hati "atas dasar penerimaan" dan kepercayaan pada Tuhannya yang terikat dan terjalin hingga memiliki anak, cucu, cicit, terpisah pun karena maut. Apakah pernikahan mereka tak bahagia?
Bahkan tanpa diawali cinta, seseorang tetap akan menikah dengan jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Dan dia akan bahagia selama dia menghendakinya. Karena kebahagiaan itu, diri sendiri yang cipta.
Lantas mengapa kita berbicara melulu; menyandingkan menikah dan cinta. Mengapa tidak dari awal kita sandingkan menikah dan taat, menikah dan menggenapkan separuh dien, menikahlah agar Surga menjadi dekat denganmu, atau seperti kata Bunda Afifah Afrah dalam Sayap-Sayap Sakinah-nya. Menikahlah Karena Ingin Menjadi Sakinah.
Menikahlah Karena Allaah dan Rasul-Nya yang memerintahkan;
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir"(Ar-Rum : 21)
"Nikah adalah sunnahku. Siapapun yang tidak mengamalkan sunnahku bukanlah golonganku. Menikahlah, sebab aku akan berbangga dengan jumlah kalian di hadapan ummat-ummat yang lain. Siapapun yang mempunyai kemampuan, menikahlah. Namun orang yang belum memiliki kemampuan, hendaklah puasa. Sebab puasa merupakan benteng baginya" (HR Ibnu Majah dari Aisyah ra)
Menikahlah karena ia merupakan ibadah.
Bukan menikah karena perasaan Cinta semata.
Iya, gak?
Iya dong, Ar. Kamu harus sepakat denganku tentang ini, kita kan sepaket. Eh. Tidak boleh tidak. *maksa
***
Ini kali ketiga. Aku mengganti pilihanku sesukanya. Kamu pasti menganggap aku wanita plin-plan. Lalu mengira esok-esok aku akan mengganti pilihanku lagi dan lagi. Begitu kan, Ar?
Tapi untuk kali ini. Please, Believe me. Aku akan belajar menjadi wanita yang tidak plin-plan. Apalagi bila menyangkut masa depanku. Hidup-matiku. Dunia-akhiratku.
Bismillaah..
Hatiku mantap, memilih. Menikah; Cinta Pilihan Terakhir.
In syaa Allaah, aku gak bakal berubah haluan kemana-mana. Ini menjadi pilihanku yang terakhir. Suer!
Kita lihat saja nanti, entah siapa yang akan kamu nikahi dan siapa yang akan menikahiku; semoga, kelak bila saat itu tiba, kita sudah benar-benar memahami dan memaknai bahwa menikah bukan hanya tentang cinta dan cinta bukan segala-galanya dalam pernikahan.
:')
#Notetomyself #selfreminder
Atau takdir yang akan aku jalani nantinya, yang membuktikan.
Entahlah, Ar!
Mengenai catatan bertajuk "Menikah (Cinta Pilihan Terakhir)", aku sudah mulai menulisnya sejak Desember lalu. Hitunglah; nyaris genap setahun. Sudah ribuan atau puluhan ribu kata yang berhasil aku ketik, sudah sedemikian panjang alasan yang kuuturakan di sana, sedetail-detailnya, serinci-rincinya.
Aku merasa perlu menjelaskan panjang lebar padamu pilihan-pilihan yang aku ubah secara sepihak, sengaja tanpa meminta tanggapanmu. Percuma juga, kan! Aku-nya selalu ngotot dan kamunya rajin ngalah, jadi kita Klop. Tanpa perlu memaksa pilihanku, kamu pasti cuma iya-iya-in doang.
Aku bahkan telah memaparkannya berkali-kali lipat lebih panjang dari catatan yang sebelum ini. Namun dalam hitungan detik saja. Qadarullaah. Catatan yang belum menemui endingnya itu terhapus bulan Maret silam dan aku cuma tersenyum getir, merelakan.
Sayang sekali, Tuhan tidak menakdir kamu membaca catatanku yang itu. Andai kamu membacanya, kamu bakal berdecak
Padahal berkali-kali aku berusaha menulis kembali dengan maksud yang serupa, tetap tidak bisa. Nyaris tak ada kalimat yang tersisa dalam ingatanku kecuali judul di atas, kamu dan pilihan yang kamu tawarkan ke aku.
Masih ingat kan? Kamu menawarkan aku dua pilihan. Cinta satu arah (semisal; meniadakan cinta dua arah)
Menikah dengan orang yang kakak cintai (meski dia tak cinta)
Atau menikah dengan orang yang mencintai kakak (meski kakak tak cinta)
Oh ya, Ar. Pertanyaan kamu itu serupa lho dengan yang dituturkan Nazrul Anwar dalam GENAP-nya, dan mungkin masih banyak juga orang di luar sana yang mengajukan tanya yang sama.
“Seandainya kamu dihadapkan pada dua pilihan, siapa yang lebih kamu pilih untuk menggenapi kehidupan kamu? Seseorang yang kamu cintai tapi dia tidak mencintai kamu, atau seseorang yang mencintai kamu tapi tidak kamu cintai?”
“Menggenap bersama seseorang yang mencintai aku, walaupun aku tiidak mencintainya.”
“Kenapa begitu?”
“Karena berusaha untuk mencintai orang lain, selalu lebih mudah daripada membuat orang lain mencintai kita. Cinta itu adanya di hati. Hati yang merasakannya. Dan kita hanya bisa mengendalikan dan mengkondisikan hatinya kita, bukan hatinya orang lain. Seberapa besarpun usaha kita untuk membuat orang lain mencintai kita, pada akhirnya yang memutuskan apakah dia mencintai kita atau bukan ya dia, bukan kita. Hatinya yang merasakan, bukan hatinya kita. Sama halnya, jika ada seseorang yang melukai hati kita, membuat kita kecewa atau sederet perasaan menyakitkan lainnya, pada akhirnya, kita sendiri yang harus menyembuhkan luka itu. Tak perlu menunggu ucapan maaf, atau mengharapkan orang lain yang menyembuhkannya. Karena sekali lagi, yang bisa kita kendalikan adalah hati punya kita sendiri. Bukan hatinya orang lain.”
“…”
Jawaban sederhana yang juga persis dengan penjabaranku di sini.
Tentu. Kita sudah sepakat dengan hal tersebut. Tetapi, setelahnya ada yang menelisik pikiranku. Hatiku pun ikut terganjal.
Lalu aku mulai bertanya-tanya dalam waktu yang lama, merasai sendiri ; hingga Tuhan seakan menuntunku (kembali) menemui jawabnya.
Bahkan, bila kondisinya adalah cinta dua arah (yang sengaja kamu tiadakan); orang yang saling cinta pun belum tentu menikah, Ar.
Lihat saja! Betapa banyak orang yang menjalin kasih tak halal (pacaran hingga belasan tahun lamanya) tak bersanding di pelaminan yang sama atau bila sampai di pelaminan pun hubungannya rentan dengan kata perceraian. Sebaliknya, tak sedikit pula yang menikah karena perjodohan (melalui biro jodoh atau fase ta'aruf) yang pernikahannya awet dan langgeng sampai kakek-nenek bahkan dunia-akhirat padahal sebelumnya jangankan ada rasa, kenal ; sayang-sayangan pun tidak!
Hmm. Aku jadi berpikir seperti ini. Kamu jangan sampai tersinggung ya, Ar. Ini berdasarkan pengamatan dan opiniku saja. Benarnya, wallaahu a'lam.
Pilihan yang kamu tawarkan memang tidak keliru. Tapi ada satu hal yang kamu luput darinya atau entah sengaja kamu indahkan.
Kamu hanya mengaitkan menikah dan cinta. Seolah-olah Menikah tanpa Cinta, tidak bahagia! Lalu bagaimana dengan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta. Pernikahan yang hanya dilandaskan kerelaan hati "atas dasar penerimaan" dan kepercayaan pada Tuhannya yang terikat dan terjalin hingga memiliki anak, cucu, cicit, terpisah pun karena maut. Apakah pernikahan mereka tak bahagia?
Bahkan tanpa diawali cinta, seseorang tetap akan menikah dengan jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Dan dia akan bahagia selama dia menghendakinya. Karena kebahagiaan itu, diri sendiri yang cipta.
Lantas mengapa kita berbicara melulu; menyandingkan menikah dan cinta. Mengapa tidak dari awal kita sandingkan menikah dan taat, menikah dan menggenapkan separuh dien, menikahlah agar Surga menjadi dekat denganmu, atau seperti kata Bunda Afifah Afrah dalam Sayap-Sayap Sakinah-nya. Menikahlah Karena Ingin Menjadi Sakinah.
Menikahlah Karena Allaah dan Rasul-Nya yang memerintahkan;
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir"(Ar-Rum : 21)
"Nikah adalah sunnahku. Siapapun yang tidak mengamalkan sunnahku bukanlah golonganku. Menikahlah, sebab aku akan berbangga dengan jumlah kalian di hadapan ummat-ummat yang lain. Siapapun yang mempunyai kemampuan, menikahlah. Namun orang yang belum memiliki kemampuan, hendaklah puasa. Sebab puasa merupakan benteng baginya" (HR Ibnu Majah dari Aisyah ra)
Menikahlah karena ia merupakan ibadah.
Bukan menikah karena perasaan Cinta semata.
Iya, gak?
Iya dong, Ar. Kamu harus sepakat denganku tentang ini, kita kan sepaket. Eh. Tidak boleh tidak. *maksa
***
Ini kali ketiga. Aku mengganti pilihanku sesukanya. Kamu pasti menganggap aku wanita plin-plan. Lalu mengira esok-esok aku akan mengganti pilihanku lagi dan lagi. Begitu kan, Ar?
Tapi untuk kali ini. Please, Believe me. Aku akan belajar menjadi wanita yang tidak plin-plan. Apalagi bila menyangkut masa depanku. Hidup-matiku. Dunia-akhiratku.
Bismillaah..
Hatiku mantap, memilih. Menikah; Cinta Pilihan Terakhir.
In syaa Allaah, aku gak bakal berubah haluan kemana-mana. Ini menjadi pilihanku yang terakhir. Suer!
Kita lihat saja nanti, entah siapa yang akan kamu nikahi dan siapa yang akan menikahiku; semoga, kelak bila saat itu tiba, kita sudah benar-benar memahami dan memaknai bahwa menikah bukan hanya tentang cinta dan cinta bukan segala-galanya dalam pernikahan.
:')
#Notetomyself #selfreminder
Posting Komentar untuk "Menikah (Cinta Pilihan Terakhir)"
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.