Basa Basi ; Nikah
Bismillahirrahmaanirrahiim
Kalau seseorang yang masih single suka share status di media sosial perihal jodoh belum tentu ia udah ngebet banget pengen ketemu jodohnya. Pun kalau ada seseorang yang masih jomblo trus hobinya nulis status tentang nikah belum tentu ia udah ngebet banget pengen nikah. Ya, mungkin aja kan doi sekadar iseng doang atau emang sengaja mau ngasih signal gitu. (Tssst... dalamnya hati seseorang siapa yang tahu).
Yah, bisa saja gegara biasa nge-share dan nulis status macam demikian (apalagi bila di akhir kalimat dibumbuhi dengan kata semoga kemudian banyak yang memberi jempol dan komentar "Aamiin") pertemuan dengan jodohnya pun dipercepat oleh Allah. Iya, kan! Bisa saja seperti itu.
Duh, ini kok kayak nyinggung diri sendiri ya? -_- Emang sih, akhir-akhir ini saya rada tertarik dengan segala hal yang menjurus ke sana. Mulai dari senang membaca artikel-artikel tentang jodoh, mendengar pembahasan perihal pernikahan sampai yang berbau rumah tangga, termasuk suka nge-share dan menulis status itu lho. Ehm.
Tidak sebatas itu, belakangan ini dalam tidur pun saya kerap diusik dengan mimpi menikah. Ampun dah. Mimpi demikian bukannya bikin saya senyam-senyum senang, yang ada malah sebaliknya. Bangun dengan wajah tertekuk. Galau abis. Gimana gak galau, kalau momen yang terasa indah nan manis itu ternyata hanya dalam mimpi. Ihiks. Nyatanya cuma bikin saya nambah nyesek bin kesel.
Tuh, kesannya kan kayak saya yang udah ngebet banget pengen segera menikah, padahal TIDAK. Suer! Okelah, kalau keinginan untuk menikah dalam waktu dekat ini saya akui IYA. Tapi baru sekadar ingin semata, selebihnya belum kepikiran.
Bahkan keinginan tersebut, kali pertama terbersit bukan baru sekarang, udah dari umur kepala satu malah. Saat masih berseragam putih-abuabu diam-diam saya telah merangkai mimpi; pengen menikah dini, tepatnya menikah di umur 20 tahun. Yup, itu adalah salah satu impian saya yang gak kesampaian. Yang akhirnya saya lepaskan demi menuntaskan mimpi yang lain.
Lagian waktu itu yang benar-benar mau SERIUS sama saya belum ada. Kalau sekarang, entahlah? Ada tidaknya bukanlah hal yang patut saya risaukan. Cukup saya percaya, Allah menciptakan semua makhluk-Nya berpasang-pasangan. Jangankan makhluk yang bisa bergerak, benda mati aja punya pasangan. Jadi meskipun saat ini saya jomblo alias masih single bukan berarti saya tidak punya pasangan. Pasangan saya ada kok. Beneran! Beribu-ribu tahun silam bahkan jauh sebelum saya dilahirkan ke dunia, Allah telah mempersiapkannya, telah tercatat dengan rapi di Kitab Lauh Mahfudz-Nya.
Nah, perihal kapan akan bertemu dan siapa pasangan yang akan ditakdirkan menjadi imam saya kelak, itu dia yang masih dirahasiakan Allah. Waktunya hanya Allah yang tahu. Sosoknya pun masih tersembunyi di balik tabir. Jadi, dua pertanyaan sensitif di atas tolong jangan dulu diajukan ke saya yah, karena jawabannya Allah masih simpan. In syaa Allah, nanti pasti terjawab di waktu yang tepat.
Oh ya, kemarin-kemarin ada sih yang sempat nanya menyoal nikah ke saya, tapi nada pertanyaannya sedikit berbeda. Bukan pertanyaan horor yang sering ditimpuk kepada mereka yang udah sarjana dan dapet kerja tapi masih melajang. Bunyi pertanyaannya kayak gini;
Ukhti udah siap nikah belum?
Gleg. Untung saja, untung saja yang melontar tanya itu bukan immawan atau ikhwan, kalau iya mungkin angan saya udah melambung sampai ke angkasa, gegara kegeeran duluan. Dikira bakal diajak nikah. Hahaha. Syukurnya karena yang nanya itu adalah sahabat sekaligus saudari shalihat saya yang empat tahun kemarin sempat terpisah namun qadarallah lepas kuliah kami dipertemukan kembali di kota penuh kenangan ini.
Namun tetap saja, pertanyaan tersebut meski terlontar dari mulut seorang akhwat sekalipun tetap memengaruhi ekspresi wajah dan tubuh saya yang kala itu mendadak merona dan agak canggung. Lalu tanpa pikir panjang, lekas saya menanggapinya.
BELUM. Jawab saya mantap tanpa mengada-ngada.
Jujur, saya emang belum siap menikah meski hati kecil saya telah begitu mendambakan sebuah pernikahan. Tidak bisa saya pungkiri betapa keinginan tersebut kian hari kian menguat namun semakin gigih pula saya menepis. Betapa saya ingin menjadi pengantin, duduk di pelaminan bersanding bersama seorang lelaki yang mencintai saya dengan sederhana lalu berdua kami merajut kasih setia dan membangun tangga dalam rumah dengan penuh ketakwaan. Betapa saya ingin menjadi seorang istri yang shalihah dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya kelak. Betapa saya sungguh memimpikan hidup bahagia, mencipta baiti jannati bersama "keluarga kecil" saya kelak.
Dan betapa... semua itu sekali lagi saya katakan baru sebatas keinginan tanpa aksi. Saya bahkan baru memulai, baru merangkak dari awal. Semisal ada sepuluh anak tangga, maka saya berada di anak tangga pertama sedang untuk sampai ke anak tangga teratas masih ada sembilan anak tangga tersisa yang harus saya pijaki.
Astaghfirullah! Bagaimana bisa saya sampai segitu lancangnya berpikiran menikah sementara persiapan saya, NIHIL? Saya tidak mau menikah buru-buru terlebih asal-asalan. Asal ada yang lamar langsung terima. Asal calonnya cakep dan sreg di hati langsung terima. Asal doi udah punya pekerjaan tetap, langsung terima. Asal yang meng-khitbah adalah immawan atau ikhwan langsung terima. Dan asal-asalan yang lain.
Setidaknya, ada tiga hal utama yang perlu saya persiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Pertama adalah diri pribadi. Kalau hubungan sama Tuhan aja belum baik gimana mau ngejalin hubungan dengan seseorang yang telah terikat janji suci. Kalau urus diri sendiri aja masih gak becus gimana mau urus anaknya orang. Kedua, yang tak kalah penting adalah ridho orang tua. Kalau sama orang tua aja belum berbakti sepenuhnya gimana mau berbakti pada suami. Kalau sama ayah dan ibu aja sering tidak patuh gimana mau jadi istri yang shalihah. Ketiga; Menguatkan mental baik fisik maupun psikis. Kalau masalah-masalah kecil aja belum mampu diatasi gimana bisa mengatasi masalah-masalah pelik dalam biduk rumah tangga. Kalau emosi aja masih sering meluap-luap gimana bisa menahan gejolak jiwa dalam hubungan pernikahan.
Sungguh, saya masih perlu belajar lebih banyak lagi. Memahami lebih banyak lagi. Memaknai lebih banyak lagi. Saya tidak bisa serta merta menikah tanpa persiapan apa-apa. Sekalipun mungkin secara materi udah siap, umur udah matang tapi kalau mental masih rapuh, bagaimana mungkin bisa menjalaninya?
Nikah aja kok ribet banget sih. Yang penting ada calon, ada wali, ada saksi, ada mahar, ada proses ijab kabul. Udah. SAH! Gak perlu belajar, nanti juga paham sendiri. Gak perlu khawatir, nanti juga mentalnya terbentuk sendiri.
Masalahanya menikah bukan perkara gampang lho! Bukan main-main. Bukan kayak orang pacaran yang semudah itu putus-nyambung, putus-nyambung. Bukan macam menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya sekejap, bukan cuma setahun dua tahun, tapi seumur hidup. In syaa Allah.
Menikah berarti; kita akan menjalani hidup bersama seseorang yang mungkin ketika itu kita belum kenal betul, entah bagaimana watak dan perangainya, entah bagaimana dirinya yang sebenarnya. Bahkan mungkin, ia masih seorang yang asing di mata kita. Yang kita tahu baru sebatas identitas dan rupa. Mungkin pula, yang kita terima baru sebatas luarannya, walau udah ngaku-ngaku bisa nerima doi apa adanya. Lalu bagaimana dalamnya? Bagaimana bila setelah menikah kita tak menemui kecocokan? Bagaimana bila pada akhirnya kita tidak bisa nerima doi sepenuhnya?
Mungkin, setahun dua tahun sampai lima tahun ke depan kita masih bisa menyesapi nikmatnya masa-masa indah sebagai pengantin muda dengan buah hati yang masih kecil-kecil, memasuki tahun keenam dan seterusnya mulai timbul rasa jengah, satu per satu konflik pun bermunculan, entah urusan yang sepele sampai yang bukan masalah pun bisa menjadi konflik besar.
Duh, jangankan sama keluarga yang udah hidup bersama kita bertahun-tahun lamanya, sama kawan karib yang walau tidak tinggal seatap aja kita masih sering terlibat cekcok, masih sering timbul prasangka dan segala macam, apalagi dengan pasangan yang akan kita temui setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Nyatanya, menikah emang tak segampang membalikkan telapak tangan. Nikah juga butuh ilmu. Kalau tanpa ilmu nikah bagaimana bisa kita membangun tangga yang kokoh dalam rumah kita? bagaimana bisa kita bertahan dari kencangnya terjangan badai yang sewaktu-waktu menerpa istana kita? bagaimana bisa kita menciptakan baiti jannati dengan pesona sakinah mawaddah wa rahmah dalam mahligai pernikahan kita?
Lihat; berapa banyak lelaki dan wanita yang bersanding di pelaminan dengan pesta pernikahan yang begitu megah nan memukau, ucapan selamat dan doa-doa membanjiri, bahkan tak sedikit yang mengharapkan ikatan suci mereka langgeng sampai kakek-nenek, namun apa yang terjadi selang sekian tahun kemudian. Ternyata ijab kabul yang pernah dilantangkan itu tak mampu menjadi tameng. Atas dasar cinta dan kasih sayang yang pernah menyatukan itu tak kuasa menjadi perekat yang awet. Sang buah hati pun tak berhasil meluruhkan ego. Perpisahan terpaksa menjadi keputusan terakhir ketika mereka tak menemukan kebahagiaan dari pasangan masing-masing.
Bahagia rupanya tidak cukup menjadi alasan menikah. Mengira, cinta yang akan mendatangkan bahagia, atau paras yang akan mengundang bahagia, atau harta yang akan meluapkan bahagia atau jabatan yang akan memanggil bahagia atau keturunan yang akan memunculkan bahagia. Jikalau semua itu melekat pada diri pasangan kita namun rasa bahagia tak kunjung ditemui lantas kemana lagi kita harus mencarinya?
Maaf bila terlampau jauh saya menerawang. Yang saya jabarkan di atas hanya sebagian kecil kemungkinan. Sebagian kemungkinan yang lain masih dapat kita saksikan.
Perhatikan; Betapa banyak lelaki dan wanita yang pernikahannya sederhana, cintanya sederhana, rumah tangganya sederhana namun ikatan suci mereka luar biasa, bertahan sampai maut memisahkan. Mengapa bisa demikian?
Jawaban dari pertanyaan itulah yang sedang saya cari. Saya pun mencari kebahagiaan dalam pernikahan saya. nantinya. Entah dengan sesiapapun itu; saya tak ingin menikah dengan orang yang salah. Tersebab itu; menurut saya selektif dalam memilih pasangan adalah hal yang sangat wajar. Tentu, karena kita tidak ingin menyesal setelah menikah bukan?
Namun selektif memilih bukan berarti kita harus mencari yang sempurna. Yakin deh, bila kesempurnanaan yang kita cari maka sampai kapanpun kita tidak akan pernah menemukannya. Bahkan boleh jadi, karena mencari yang sempurna itu kita akan kehilangan yang terbaik.
Karenanya, kriteria lelaki ideal yang saya dambakan menjadi imam saya kelak bukanlah seseorang yang luar biasa dengan segala kelebihannya, melainkan ia yang bersahaja, yang dengan kesederhanaannya mampu menawan hati saya.
Kemarin-kemarin sih saya sempat ngarep berjodoh sama yang se-ikatan. Ups! Tapi sekarang gak lagi kok. Siapa saja yang Allah datangkan, entah itu IMMawan, ikhwan, ustad #Eh atau mantan preman sekalipun in syaa Allah itu pasti yang terbaik buat saya.
Tapi jujur nih, dari dulu saya gak pernah ngarepin berjodoh dengan lelaki yang alim pake banget. Itu juga karena saya nyadar diri, saya bukan wanita yang sebegitu alimnya. Kalaupun saat ini saya memutuskan mengenakan jilbab yang menutupi hampir seluruh tubuh dan kerudung yang menjuntai sampai melewati *maaf bokong bukan berarti saya adalah wanita alim. Toh, alimnya seseorang tidak bisa dinilai dari penampilan semata.
Justru karena betapa hina dinanya diri ini betapa kerdilnya raga ini, betapa bergelimangnya dosa-dosa saya selama ini hingga tiada sanggup saya menebusnya selain berusaha menjadi hamba yang taat. Dimana salah satu bentuk ketaatan Hamba (wanita) kepada Tuhan-Nya adalah dengan menutup aurat sesuai dengan yang diperintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam Q.S An-Nur : 31 dan Al-Ahzab : 59.
Nah, terlepas dari penampilan yang terkesan sok alim itu, saya sungguh berharap pada Allah agar mempertemukan saya dengan ia yang meski bukan ahli agama, bukan ahli ibadah namun tetap bisa menuntun saya menempuh jalan yang lurus dengan kesahajaannya. Ia yang meski bukan ustad, bukan pula hafidz 30 juz namun tetap bisa membimbing saya dunia akhirat dengan kesederhanaanya. Ia yang hatinya merunduk, dadanya lapang dan ringan mengulurkan tangan. Ia yang bisa mensyukuri kehadiran saya dalam hidupnya.
Ia yang SABAR...
Yang kini tengah memantaskan pribadinya
Yang sedang berikhtiar menata hati memperbaiki diri
Yang sedang belajar mendalami agama
Yang kini tengah mengadu pada Rabb-Nya
Yang sedang memintal harap pada Ilahi
Yang sedang mengejar cintaNya....
Maka, cukuplah Allah yang menjadi alasan pertemuan saya dengannya. Cukuplah Allah yang menyatukan saya dengannya. Cukuplah karena Allah; alasan kebahagiaan kami kelak! Sesiapapun dia...
Saya masih menunggu.
Di dua puluh tiga;
Semoga #Aamiin
Serui, 17 Mei 2015
Kalau seseorang yang masih single suka share status di media sosial perihal jodoh belum tentu ia udah ngebet banget pengen ketemu jodohnya. Pun kalau ada seseorang yang masih jomblo trus hobinya nulis status tentang nikah belum tentu ia udah ngebet banget pengen nikah. Ya, mungkin aja kan doi sekadar iseng doang atau emang sengaja mau ngasih signal gitu. (Tssst... dalamnya hati seseorang siapa yang tahu).
Yah, bisa saja gegara biasa nge-share dan nulis status macam demikian (apalagi bila di akhir kalimat dibumbuhi dengan kata semoga kemudian banyak yang memberi jempol dan komentar "Aamiin") pertemuan dengan jodohnya pun dipercepat oleh Allah. Iya, kan! Bisa saja seperti itu.
Duh, ini kok kayak nyinggung diri sendiri ya? -_- Emang sih, akhir-akhir ini saya rada tertarik dengan segala hal yang menjurus ke sana. Mulai dari senang membaca artikel-artikel tentang jodoh, mendengar pembahasan perihal pernikahan sampai yang berbau rumah tangga, termasuk suka nge-share dan menulis status itu lho. Ehm.
Tidak sebatas itu, belakangan ini dalam tidur pun saya kerap diusik dengan mimpi menikah. Ampun dah. Mimpi demikian bukannya bikin saya senyam-senyum senang, yang ada malah sebaliknya. Bangun dengan wajah tertekuk. Galau abis. Gimana gak galau, kalau momen yang terasa indah nan manis itu ternyata hanya dalam mimpi. Ihiks. Nyatanya cuma bikin saya nambah nyesek bin kesel.
Tuh, kesannya kan kayak saya yang udah ngebet banget pengen segera menikah, padahal TIDAK. Suer! Okelah, kalau keinginan untuk menikah dalam waktu dekat ini saya akui IYA. Tapi baru sekadar ingin semata, selebihnya belum kepikiran.
Bahkan keinginan tersebut, kali pertama terbersit bukan baru sekarang, udah dari umur kepala satu malah. Saat masih berseragam putih-abuabu diam-diam saya telah merangkai mimpi; pengen menikah dini, tepatnya menikah di umur 20 tahun. Yup, itu adalah salah satu impian saya yang gak kesampaian. Yang akhirnya saya lepaskan demi menuntaskan mimpi yang lain.
Lagian waktu itu yang benar-benar mau SERIUS sama saya belum ada. Kalau sekarang, entahlah? Ada tidaknya bukanlah hal yang patut saya risaukan. Cukup saya percaya, Allah menciptakan semua makhluk-Nya berpasang-pasangan. Jangankan makhluk yang bisa bergerak, benda mati aja punya pasangan. Jadi meskipun saat ini saya jomblo alias masih single bukan berarti saya tidak punya pasangan. Pasangan saya ada kok. Beneran! Beribu-ribu tahun silam bahkan jauh sebelum saya dilahirkan ke dunia, Allah telah mempersiapkannya, telah tercatat dengan rapi di Kitab Lauh Mahfudz-Nya.
Nah, perihal kapan akan bertemu dan siapa pasangan yang akan ditakdirkan menjadi imam saya kelak, itu dia yang masih dirahasiakan Allah. Waktunya hanya Allah yang tahu. Sosoknya pun masih tersembunyi di balik tabir. Jadi, dua pertanyaan sensitif di atas tolong jangan dulu diajukan ke saya yah, karena jawabannya Allah masih simpan. In syaa Allah, nanti pasti terjawab di waktu yang tepat.
Oh ya, kemarin-kemarin ada sih yang sempat nanya menyoal nikah ke saya, tapi nada pertanyaannya sedikit berbeda. Bukan pertanyaan horor yang sering ditimpuk kepada mereka yang udah sarjana dan dapet kerja tapi masih melajang. Bunyi pertanyaannya kayak gini;
Ukhti udah siap nikah belum?
Gleg. Untung saja, untung saja yang melontar tanya itu bukan immawan atau ikhwan, kalau iya mungkin angan saya udah melambung sampai ke angkasa, gegara kegeeran duluan. Dikira bakal diajak nikah. Hahaha. Syukurnya karena yang nanya itu adalah sahabat sekaligus saudari shalihat saya yang empat tahun kemarin sempat terpisah namun qadarallah lepas kuliah kami dipertemukan kembali di kota penuh kenangan ini.
Namun tetap saja, pertanyaan tersebut meski terlontar dari mulut seorang akhwat sekalipun tetap memengaruhi ekspresi wajah dan tubuh saya yang kala itu mendadak merona dan agak canggung. Lalu tanpa pikir panjang, lekas saya menanggapinya.
BELUM. Jawab saya mantap tanpa mengada-ngada.
Jujur, saya emang belum siap menikah meski hati kecil saya telah begitu mendambakan sebuah pernikahan. Tidak bisa saya pungkiri betapa keinginan tersebut kian hari kian menguat namun semakin gigih pula saya menepis. Betapa saya ingin menjadi pengantin, duduk di pelaminan bersanding bersama seorang lelaki yang mencintai saya dengan sederhana lalu berdua kami merajut kasih setia dan membangun tangga dalam rumah dengan penuh ketakwaan. Betapa saya ingin menjadi seorang istri yang shalihah dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya kelak. Betapa saya sungguh memimpikan hidup bahagia, mencipta baiti jannati bersama "keluarga kecil" saya kelak.
Dan betapa... semua itu sekali lagi saya katakan baru sebatas keinginan tanpa aksi. Saya bahkan baru memulai, baru merangkak dari awal. Semisal ada sepuluh anak tangga, maka saya berada di anak tangga pertama sedang untuk sampai ke anak tangga teratas masih ada sembilan anak tangga tersisa yang harus saya pijaki.
Astaghfirullah! Bagaimana bisa saya sampai segitu lancangnya berpikiran menikah sementara persiapan saya, NIHIL? Saya tidak mau menikah buru-buru terlebih asal-asalan. Asal ada yang lamar langsung terima. Asal calonnya cakep dan sreg di hati langsung terima. Asal doi udah punya pekerjaan tetap, langsung terima. Asal yang meng-khitbah adalah immawan atau ikhwan langsung terima. Dan asal-asalan yang lain.
Setidaknya, ada tiga hal utama yang perlu saya persiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Pertama adalah diri pribadi. Kalau hubungan sama Tuhan aja belum baik gimana mau ngejalin hubungan dengan seseorang yang telah terikat janji suci. Kalau urus diri sendiri aja masih gak becus gimana mau urus anaknya orang. Kedua, yang tak kalah penting adalah ridho orang tua. Kalau sama orang tua aja belum berbakti sepenuhnya gimana mau berbakti pada suami. Kalau sama ayah dan ibu aja sering tidak patuh gimana mau jadi istri yang shalihah. Ketiga; Menguatkan mental baik fisik maupun psikis. Kalau masalah-masalah kecil aja belum mampu diatasi gimana bisa mengatasi masalah-masalah pelik dalam biduk rumah tangga. Kalau emosi aja masih sering meluap-luap gimana bisa menahan gejolak jiwa dalam hubungan pernikahan.
Sungguh, saya masih perlu belajar lebih banyak lagi. Memahami lebih banyak lagi. Memaknai lebih banyak lagi. Saya tidak bisa serta merta menikah tanpa persiapan apa-apa. Sekalipun mungkin secara materi udah siap, umur udah matang tapi kalau mental masih rapuh, bagaimana mungkin bisa menjalaninya?
Nikah aja kok ribet banget sih. Yang penting ada calon, ada wali, ada saksi, ada mahar, ada proses ijab kabul. Udah. SAH! Gak perlu belajar, nanti juga paham sendiri. Gak perlu khawatir, nanti juga mentalnya terbentuk sendiri.
Masalahanya menikah bukan perkara gampang lho! Bukan main-main. Bukan kayak orang pacaran yang semudah itu putus-nyambung, putus-nyambung. Bukan macam menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya sekejap, bukan cuma setahun dua tahun, tapi seumur hidup. In syaa Allah.
Menikah berarti; kita akan menjalani hidup bersama seseorang yang mungkin ketika itu kita belum kenal betul, entah bagaimana watak dan perangainya, entah bagaimana dirinya yang sebenarnya. Bahkan mungkin, ia masih seorang yang asing di mata kita. Yang kita tahu baru sebatas identitas dan rupa. Mungkin pula, yang kita terima baru sebatas luarannya, walau udah ngaku-ngaku bisa nerima doi apa adanya. Lalu bagaimana dalamnya? Bagaimana bila setelah menikah kita tak menemui kecocokan? Bagaimana bila pada akhirnya kita tidak bisa nerima doi sepenuhnya?
Mungkin, setahun dua tahun sampai lima tahun ke depan kita masih bisa menyesapi nikmatnya masa-masa indah sebagai pengantin muda dengan buah hati yang masih kecil-kecil, memasuki tahun keenam dan seterusnya mulai timbul rasa jengah, satu per satu konflik pun bermunculan, entah urusan yang sepele sampai yang bukan masalah pun bisa menjadi konflik besar.
Duh, jangankan sama keluarga yang udah hidup bersama kita bertahun-tahun lamanya, sama kawan karib yang walau tidak tinggal seatap aja kita masih sering terlibat cekcok, masih sering timbul prasangka dan segala macam, apalagi dengan pasangan yang akan kita temui setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Nyatanya, menikah emang tak segampang membalikkan telapak tangan. Nikah juga butuh ilmu. Kalau tanpa ilmu nikah bagaimana bisa kita membangun tangga yang kokoh dalam rumah kita? bagaimana bisa kita bertahan dari kencangnya terjangan badai yang sewaktu-waktu menerpa istana kita? bagaimana bisa kita menciptakan baiti jannati dengan pesona sakinah mawaddah wa rahmah dalam mahligai pernikahan kita?
Lihat; berapa banyak lelaki dan wanita yang bersanding di pelaminan dengan pesta pernikahan yang begitu megah nan memukau, ucapan selamat dan doa-doa membanjiri, bahkan tak sedikit yang mengharapkan ikatan suci mereka langgeng sampai kakek-nenek, namun apa yang terjadi selang sekian tahun kemudian. Ternyata ijab kabul yang pernah dilantangkan itu tak mampu menjadi tameng. Atas dasar cinta dan kasih sayang yang pernah menyatukan itu tak kuasa menjadi perekat yang awet. Sang buah hati pun tak berhasil meluruhkan ego. Perpisahan terpaksa menjadi keputusan terakhir ketika mereka tak menemukan kebahagiaan dari pasangan masing-masing.
Bahagia rupanya tidak cukup menjadi alasan menikah. Mengira, cinta yang akan mendatangkan bahagia, atau paras yang akan mengundang bahagia, atau harta yang akan meluapkan bahagia atau jabatan yang akan memanggil bahagia atau keturunan yang akan memunculkan bahagia. Jikalau semua itu melekat pada diri pasangan kita namun rasa bahagia tak kunjung ditemui lantas kemana lagi kita harus mencarinya?
Maaf bila terlampau jauh saya menerawang. Yang saya jabarkan di atas hanya sebagian kecil kemungkinan. Sebagian kemungkinan yang lain masih dapat kita saksikan.
Perhatikan; Betapa banyak lelaki dan wanita yang pernikahannya sederhana, cintanya sederhana, rumah tangganya sederhana namun ikatan suci mereka luar biasa, bertahan sampai maut memisahkan. Mengapa bisa demikian?
Jawaban dari pertanyaan itulah yang sedang saya cari. Saya pun mencari kebahagiaan dalam pernikahan saya. nantinya. Entah dengan sesiapapun itu; saya tak ingin menikah dengan orang yang salah. Tersebab itu; menurut saya selektif dalam memilih pasangan adalah hal yang sangat wajar. Tentu, karena kita tidak ingin menyesal setelah menikah bukan?
Namun selektif memilih bukan berarti kita harus mencari yang sempurna. Yakin deh, bila kesempurnanaan yang kita cari maka sampai kapanpun kita tidak akan pernah menemukannya. Bahkan boleh jadi, karena mencari yang sempurna itu kita akan kehilangan yang terbaik.
Karenanya, kriteria lelaki ideal yang saya dambakan menjadi imam saya kelak bukanlah seseorang yang luar biasa dengan segala kelebihannya, melainkan ia yang bersahaja, yang dengan kesederhanaannya mampu menawan hati saya.
Kemarin-kemarin sih saya sempat ngarep berjodoh sama yang se-ikatan. Ups! Tapi sekarang gak lagi kok. Siapa saja yang Allah datangkan, entah itu IMMawan, ikhwan, ustad #Eh atau mantan preman sekalipun in syaa Allah itu pasti yang terbaik buat saya.
Tapi jujur nih, dari dulu saya gak pernah ngarepin berjodoh dengan lelaki yang alim pake banget. Itu juga karena saya nyadar diri, saya bukan wanita yang sebegitu alimnya. Kalaupun saat ini saya memutuskan mengenakan jilbab yang menutupi hampir seluruh tubuh dan kerudung yang menjuntai sampai melewati *maaf bokong bukan berarti saya adalah wanita alim. Toh, alimnya seseorang tidak bisa dinilai dari penampilan semata.
Justru karena betapa hina dinanya diri ini betapa kerdilnya raga ini, betapa bergelimangnya dosa-dosa saya selama ini hingga tiada sanggup saya menebusnya selain berusaha menjadi hamba yang taat. Dimana salah satu bentuk ketaatan Hamba (wanita) kepada Tuhan-Nya adalah dengan menutup aurat sesuai dengan yang diperintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam Q.S An-Nur : 31 dan Al-Ahzab : 59.
Nah, terlepas dari penampilan yang terkesan sok alim itu, saya sungguh berharap pada Allah agar mempertemukan saya dengan ia yang meski bukan ahli agama, bukan ahli ibadah namun tetap bisa menuntun saya menempuh jalan yang lurus dengan kesahajaannya. Ia yang meski bukan ustad, bukan pula hafidz 30 juz namun tetap bisa membimbing saya dunia akhirat dengan kesederhanaanya. Ia yang hatinya merunduk, dadanya lapang dan ringan mengulurkan tangan. Ia yang bisa mensyukuri kehadiran saya dalam hidupnya.
Ia yang SABAR...
Yang kini tengah memantaskan pribadinya
Yang sedang berikhtiar menata hati memperbaiki diri
Yang sedang belajar mendalami agama
Yang kini tengah mengadu pada Rabb-Nya
Yang sedang memintal harap pada Ilahi
Yang sedang mengejar cintaNya....
Maka, cukuplah Allah yang menjadi alasan pertemuan saya dengannya. Cukuplah Allah yang menyatukan saya dengannya. Cukuplah karena Allah; alasan kebahagiaan kami kelak! Sesiapapun dia...
Saya masih menunggu.
Di dua puluh tiga;
Semoga #Aamiin
Serui, 17 Mei 2015
posted from Bloggeroid
2 komentar untuk "Basa Basi ; Nikah"
Aku tuh suka menghindar kalo ada yg bahsa beginian, aku juga ga seberapa suka bahas yg beginian. Ntah lah, ngerasa belum waktunya, belum siap, dll. Pingin nikah? Iyalah. Tapi utk kayak target, atau giman......gatau deh. Aku serahin sama orangtua soalnya xD
Lucunya, kemaren2 dapat job nulis tentang honeymoon...haduh nulisnya sambil keringet dingin dan guling2. Kan aku jadi imajinasi T^T geliii gitu. Trus tema postingan bersama di grup tentang mahar. Hadeeuh lagiii, awalnya mau bikin bercandaan aja. Eh habis itu aku nulisnya malah serius, apa yg aku mau banget T^T wkkwkw. Waktu mau publish rasanay gemetar...trus seharian aku gak buka artikel itu, takut lihat komentarnya, takut diketawain -- trus trsu barusan iseng ikut kumpul blogger, lah ternyata konsep acaranya edukasi breastfeeding :' yg ikut semuanya udh nikah, udh punya anak /gigit jari gegulingan/ mana disuruh post juga di blog T^T Allahuakbar......3 postingan terakhir isisnya begituu semua.
Gak enak aku tuh, kesannya kayak ngebet, padahal ya engga loh :'
Walahualam bisshawab. Kakak maafkan aku curhat kepanjangan T^T
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.