Ketika Mama Melarang
"Ma, boleh ya aku pergi ke acara ulang tahun temanku sebentar malam" rajukku pelan sambil merapal doa dalam-dalam. “
"Temanmu siapa?"
"Nita, Ma. Itu yang rumahnya di jalan Jenderal Sudirman" jawabku bersemangat. Selanjutnya aku berharap mama menganggukan kepala, tapi seperti biasa, beliau sengaja memasang ekspresi datar dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Wajahku seketika berubah manyun. Kau lihat, Ry. Mama selalu begitu. Jika permintaanku tak direspon, itu pertanda beliau tidak memberi lampu
hijau, artinya aku dilarang pergi sekalipun dengan tujuan jelas. Aku sekedar ingin menghadiri pesta ulang tahun temanku, apa salahnya Ry? Uhft, benar-benar menyebalkan.
"Tria aja dibolehin sama mamanya" selorohku mulai membanding-bandingkan aku dengan Tria yang tinggalnya tepat di depan rumah kami. “
"Gak usah ikut-ikutan orang lain"
"Tapi Ma..."
"Mama bilang tidak ya tidak" tegas mama. Ucapan mama yang terakhir mematahkan gairahku.
Langkahku gegas masuk kamar, mengunci diri dan menangis sepuasanya di dalam. Sebenarnya tanpa minta ijin pun aku udah tahu endingnya bakalan gitu. Mama mana mau membiarkan putrinya keluar malam, apalagi malam minggu. Padahal saat itu usiaku telah melewati sweet seventeenth, aku bukan anak kecil lagi yang kudu diawasi kemana-mana. Tidak bisakah mama memberiku sedikit saja kepercayaan?
Iya, aku ngerti mungkin maksud mama baik, mungkin beliau khawatir akan terjadi sesuatu denganku, mungkin begitulah cara beliau menjaga putrinya dengan membatasi ruang gerakku. Ah, tetap saja bagiku itu gak fear. Mama terlalu memaksakan kehendaknya, apa yang beliau ucapkan harus aku turuti sementara keinginanku sendiri jarang mama penuhi.
Waktu baru lulus SD misalnya, mama nyuruh aku pakai kerudung, jelas aku menolak. Pake kerudung kan panas, udah gitu terlihat kuno pula. Aku ngambek, mama ngotot. Eh, tanpa persetujuanku beliau langsung memesankan seragam SMP serba panjang, juga membelikanku beberapa helai kerudung putih, hitam dan coklat. Hah, terpaksa ujung-ujungnya aku yang ngalah. Meski pada akhirnya aku menutup aurat bukan lagi karena keterpaksaan, akan tetapi kalau keinget cara mama memaksakan kehendaknya selalu mengingatkanku pada rasa kecewa yang kualami saat itu, sampai-sampai aku sempat ngambek tiga hari berturut-turut.
Aku selalu nuruti semua kemauan mama, bukan hanya persoalan nutup aurat, tuntutan untuk jadi juara di sekolah pun berusaha aku raih, semata-mata demi melihat mama bangga dan merasa bahagia. Sebaliknya, mama malah cuek dengan semua keinginanku. Padahal yang aku pinta bukan sesuatu yang memberatkan. Pengen pergi ke acara ulang tahun dilarang, pengen pergi rekreasi ke tempat jauh dilarang, pengen liburan ke luar kota juga dilarang. Terlalu banyak larangan dari mama, Ry. Kalau papa sih gak masalah, aku mau pergi kemana pun boleh-boleh saja asalkan mendapat persetujuan mama.
Tuh kan, kembali lagi ke mama. Perempuan yang telah melahirkanku ke dunia itu seolah mengekang hidupku. Aku muak. Sebagai anak tidak bisakah aku melakukan hal yang kuinginkan tanpa ikut campur orang tua? Haruskah aku selalu mengalah? Apakah aku tidak berhak membuat keputusan sendiri? Dan lagi gara-gara sejak kecil aku jarang diberi ijin keluar rumah, aku jadi gak pintar bergaul.
Di sekolah teman-temanku udah punya kelompok masing-masing, ada nama gengnya pula, mereka sering hang out bareng, nongkrong bareng, belajar bareng ke kantin pun selalu bareng. Aku malah lebih sering sendiri dan menghabiskan waktu istirahat di kelas. Kadang-kadang diajakin juga sih, tapi ujung-ujungnya malah aku yang merasa gak pede bergabung sama mereka. Teman akrab aku aja selama bersekolah dari seragam putih biru hingga putih abu-abu tidak pernah lebih dari tiga orang. Bahkan waktu SMP itu aku cuma punya satu orang teman akrab. Seorang teman yang paling ngertiin sikap mama aku yang terkesan agak otoriter. Namanya Ana, orangnya baik dan sabar banget. Karena tahu Mama aku suka ngelarang anaknya keluar rumah, pulang sekolah harus tepat waktu, gak boleh keluyuran kesana-kemari, mau jalan-jalan juga harus minta ijin dulu, kalau diijinin baru dibolehin pergi, kalau tidak yah tinggal aja di rumah, jadi lah si Ana yang langganan main ke rumahku.
Eniwei, lama-lama diperlakukan seketat itu, aku bosan. Ibarat balon yang terus ditiup tanpa henti, pasti akan membesar dan akhirnya meledak. Mungkin seperti itu perumpamaan yang aku alami. Pada akhirnya, aku pun pernah memberontak. Setelah beberapa hari ulang tahun Nita berlalu, tepatnya di hari minggu teman-teman sekelas aku sepakat pengen rekreasi ke air terjun Khayangan. Semua setuju, tinggal aku yang masih dilanda bimbang. Antara pergi atau tidak. Tentu, jika ditanya inginku, sungguh aku tidak punya secuil alasan untuk menolak. Apalagi saat itu aku belum pernah liat langsung yang namanya air terjun secara kasat mata.
Nah, karena obsesiku yang juga tak kalah besar dengan kekhawatiranku minta ijin yang pastinya gak bakalan dapat restu, aku terpaksa bohong sama mama juga papa. Aku tidak mungkin bilang mau ke air terjun Khayangan, pasalnya sebelum-sebelumnya aku pernah minta ijin tapi gak pernah dibolehin. Mereka tahu air terjun tersebut terletak di tengah hutan dan untuk sampai ke sana harus menyeberang sungai lalu melewati tanah yang terjal serta licin sekitar 30 menit dari sungai Mantembu (salah satu sungai yang ada di tempat kelahiran saya).
Pergi belajar kelompok, itu alasan paling ampuh yang bisa melunakkan sedikit hati mama, walau sebenarnya aku juga was-was, merasa gak enak karena telah berbohong. Tapi mau bagaimana lagi, percuma tiap minta ijin baik-baik mama jarang merespon dengan baik. Makanya naluri keremajaanku saat itu segera ambil alih. Entah aku dapat keberanian darimana sampai tega berbohong demi keinginanku semata. Saat itu sempat terlintas pikiran seperti ini, andai saja mama mengerti dengan semua keinginanku, andai saja mama mengijinkan dan memberi aku sedikit kebebasan, tentu aku tidak perlu berbohong.
Akibatnya, sepulang dari rekreasi kakiku memar-memar karena dalam perjalanan ke air terjun aku sempat tergelincir beberapa kali dari batu sungai yang licin, syukurnya kakiku tidak sampai terkilir dan lebih bersyukur lagi karena mama tidak curiga. Malamnya rasa sakit menjelajari pahaku, bukan main, aku sampai nangis dengan isakan yang kutahan sekuat mungkin biar tak kedengaran orang rumah.
Namun, dari situ aku mulai menyadari bahwa ijin orang tua itu penting banget. Pas dengan hadis Rasul yang bunyinya keridhoan Allah tergantung ridho orang tua dan kemurkaan Allah tergantung dengan murka orang tua” (H.R Tirmidzi). Berarti kalau orang tua gak ridho atau gak ngasih ijin Allah juga gak ridho dong. Dan kalau Allah gak ridho, kemungkinan akan terjadi sesuatu yang buruk, seperti yang aku alami saat itu. Wallahua’alam bisshawab.
Pernah juga aku memohon pada mama agar mengijinkan aku libur ke luar kota. Aku ingin melihat dunia luar, itu impian besarku kala itu. Maklum sejak lahir sampai besar mama tak pernah membolehkan anak-anaknya liburan jauh. Liburan artinya gak ke sekolah dan tinggal di rumah saja. Tidak seperti teman-teman sekolahku yang umumnya tiap liburan panjang pasti diajakin orang tua mereka ke luar tanah papua, atau ke kampung orang tua mereka masing-masing. Ada yang ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke luar negeri. Lha aku? berkarat di rumah, ihiks.
Setiap aku memohon, mama selalu bilang nanti, ada waktunya kamu boleh keluar kota, nanti, sekaligus setelah kamu lulus SMA saja. Nanti, kalau udah mau kuliah. Aish, aku sempat kesal, sempat uring-uringan, sempat ngambek. Ry, masa' cuma mau keluar kota saja harus nunggu selama itu. Pada akhirnya memang aku benar-benar baru dikasih tiket "merantau" ke dunia luar setelah mengantongi ijazah SMA.
Benar kata mama, akan ada waktunya aku dibiarkan lepas dari sangkar kemudian dibolehkan terbang bebas ke angkasa seorang diri. Dan itulah yang sedang aku rasakan selama empat tahun terakhir ini. Sejak memesiunkan seragam putih abu-abu (tahun 2010), mama membiarkan aku sendiri menentukan pilihan hidup. Asal tetap melanjutkan study, mengenai jurusan dan kampus yang kuinginkan semua mama serahkan padaku. Baru kali itu aku merasa benar-benar diberi kepercayaan sepenuhnya sama mama. Aku tak dituntut agar menjadi seperti yang beliau inginkan, yang setahuku mama menginginkan anaknya agar kuliah di bidang kesehatan, tapi aku malah larinya ke jurusan pendidikan.
Kini, empat tahun sudah aku menjalani hidupku di tanah perantauan, Kota Daeng. Jauh dari mama membuatku hidup bagai seekor burung yang bebas terbang kemanapun yang aku inginkan. Sudah tidak ada lagi yang ngelarang-ngelarang aku keluar malam, aku juga gak perlu repot-repot berusaha mencuri ijin dari mama, sebab makin ke sini, makin bertambah umur, aku makin diberi kepercayaan pertanda mama mulai mengurangi tingkat kecemasan terhadap putrinya.
Ry, kalau dulu aku negatif thinking dan sebel dengan sikap mama yang over perhatiin, ah..sekarang justru aku yang sangat merindukan kembali over perhatian mama. Rindu dengan omel-omelannya, juga aturan-aturannya dalam rumah serta ketegasan mama. Setiap orang tua punya cara berbeda memperlakukan anaknya dan mungkin menurut mama dengan mengekang itulah cara terbaik membesarkan anaknya hingga kelak beliau bisa dengan tenang melepaskan anaknya merantau ke negeri orang.
Kau tahu kan, Ry? Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan mama apalagi menyalahkan beliau yang telah membesarkanku dengan cara seperti itu. Aku saja yang kurang peka memaknai semua perlakuan mama selama ini. Biar bagaimanapun semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, walau terkadang cara mereka bertentangan dengan keinginan sang buah hati. Sekarang aku mengerti, sesungguhnya mama tidak pernah benar-benar membiarkan aku terkungkung dalam aturannya, beliau hanya mengajariku untuk kuat bertahan dalam sebuah kurungan sebelum mengijinkanku mengepakkan sayap di angkasa.
"Temanmu siapa?"
"Nita, Ma. Itu yang rumahnya di jalan Jenderal Sudirman" jawabku bersemangat. Selanjutnya aku berharap mama menganggukan kepala, tapi seperti biasa, beliau sengaja memasang ekspresi datar dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Wajahku seketika berubah manyun. Kau lihat, Ry. Mama selalu begitu. Jika permintaanku tak direspon, itu pertanda beliau tidak memberi lampu
hijau, artinya aku dilarang pergi sekalipun dengan tujuan jelas. Aku sekedar ingin menghadiri pesta ulang tahun temanku, apa salahnya Ry? Uhft, benar-benar menyebalkan.
"Tria aja dibolehin sama mamanya" selorohku mulai membanding-bandingkan aku dengan Tria yang tinggalnya tepat di depan rumah kami. “
"Gak usah ikut-ikutan orang lain"
"Tapi Ma..."
"Mama bilang tidak ya tidak" tegas mama. Ucapan mama yang terakhir mematahkan gairahku.
Langkahku gegas masuk kamar, mengunci diri dan menangis sepuasanya di dalam. Sebenarnya tanpa minta ijin pun aku udah tahu endingnya bakalan gitu. Mama mana mau membiarkan putrinya keluar malam, apalagi malam minggu. Padahal saat itu usiaku telah melewati sweet seventeenth, aku bukan anak kecil lagi yang kudu diawasi kemana-mana. Tidak bisakah mama memberiku sedikit saja kepercayaan?
Iya, aku ngerti mungkin maksud mama baik, mungkin beliau khawatir akan terjadi sesuatu denganku, mungkin begitulah cara beliau menjaga putrinya dengan membatasi ruang gerakku. Ah, tetap saja bagiku itu gak fear. Mama terlalu memaksakan kehendaknya, apa yang beliau ucapkan harus aku turuti sementara keinginanku sendiri jarang mama penuhi.
Waktu baru lulus SD misalnya, mama nyuruh aku pakai kerudung, jelas aku menolak. Pake kerudung kan panas, udah gitu terlihat kuno pula. Aku ngambek, mama ngotot. Eh, tanpa persetujuanku beliau langsung memesankan seragam SMP serba panjang, juga membelikanku beberapa helai kerudung putih, hitam dan coklat. Hah, terpaksa ujung-ujungnya aku yang ngalah. Meski pada akhirnya aku menutup aurat bukan lagi karena keterpaksaan, akan tetapi kalau keinget cara mama memaksakan kehendaknya selalu mengingatkanku pada rasa kecewa yang kualami saat itu, sampai-sampai aku sempat ngambek tiga hari berturut-turut.
Aku selalu nuruti semua kemauan mama, bukan hanya persoalan nutup aurat, tuntutan untuk jadi juara di sekolah pun berusaha aku raih, semata-mata demi melihat mama bangga dan merasa bahagia. Sebaliknya, mama malah cuek dengan semua keinginanku. Padahal yang aku pinta bukan sesuatu yang memberatkan. Pengen pergi ke acara ulang tahun dilarang, pengen pergi rekreasi ke tempat jauh dilarang, pengen liburan ke luar kota juga dilarang. Terlalu banyak larangan dari mama, Ry. Kalau papa sih gak masalah, aku mau pergi kemana pun boleh-boleh saja asalkan mendapat persetujuan mama.
Tuh kan, kembali lagi ke mama. Perempuan yang telah melahirkanku ke dunia itu seolah mengekang hidupku. Aku muak. Sebagai anak tidak bisakah aku melakukan hal yang kuinginkan tanpa ikut campur orang tua? Haruskah aku selalu mengalah? Apakah aku tidak berhak membuat keputusan sendiri? Dan lagi gara-gara sejak kecil aku jarang diberi ijin keluar rumah, aku jadi gak pintar bergaul.
Di sekolah teman-temanku udah punya kelompok masing-masing, ada nama gengnya pula, mereka sering hang out bareng, nongkrong bareng, belajar bareng ke kantin pun selalu bareng. Aku malah lebih sering sendiri dan menghabiskan waktu istirahat di kelas. Kadang-kadang diajakin juga sih, tapi ujung-ujungnya malah aku yang merasa gak pede bergabung sama mereka. Teman akrab aku aja selama bersekolah dari seragam putih biru hingga putih abu-abu tidak pernah lebih dari tiga orang. Bahkan waktu SMP itu aku cuma punya satu orang teman akrab. Seorang teman yang paling ngertiin sikap mama aku yang terkesan agak otoriter. Namanya Ana, orangnya baik dan sabar banget. Karena tahu Mama aku suka ngelarang anaknya keluar rumah, pulang sekolah harus tepat waktu, gak boleh keluyuran kesana-kemari, mau jalan-jalan juga harus minta ijin dulu, kalau diijinin baru dibolehin pergi, kalau tidak yah tinggal aja di rumah, jadi lah si Ana yang langganan main ke rumahku.
Eniwei, lama-lama diperlakukan seketat itu, aku bosan. Ibarat balon yang terus ditiup tanpa henti, pasti akan membesar dan akhirnya meledak. Mungkin seperti itu perumpamaan yang aku alami. Pada akhirnya, aku pun pernah memberontak. Setelah beberapa hari ulang tahun Nita berlalu, tepatnya di hari minggu teman-teman sekelas aku sepakat pengen rekreasi ke air terjun Khayangan. Semua setuju, tinggal aku yang masih dilanda bimbang. Antara pergi atau tidak. Tentu, jika ditanya inginku, sungguh aku tidak punya secuil alasan untuk menolak. Apalagi saat itu aku belum pernah liat langsung yang namanya air terjun secara kasat mata.
Nah, karena obsesiku yang juga tak kalah besar dengan kekhawatiranku minta ijin yang pastinya gak bakalan dapat restu, aku terpaksa bohong sama mama juga papa. Aku tidak mungkin bilang mau ke air terjun Khayangan, pasalnya sebelum-sebelumnya aku pernah minta ijin tapi gak pernah dibolehin. Mereka tahu air terjun tersebut terletak di tengah hutan dan untuk sampai ke sana harus menyeberang sungai lalu melewati tanah yang terjal serta licin sekitar 30 menit dari sungai Mantembu (salah satu sungai yang ada di tempat kelahiran saya).
Pergi belajar kelompok, itu alasan paling ampuh yang bisa melunakkan sedikit hati mama, walau sebenarnya aku juga was-was, merasa gak enak karena telah berbohong. Tapi mau bagaimana lagi, percuma tiap minta ijin baik-baik mama jarang merespon dengan baik. Makanya naluri keremajaanku saat itu segera ambil alih. Entah aku dapat keberanian darimana sampai tega berbohong demi keinginanku semata. Saat itu sempat terlintas pikiran seperti ini, andai saja mama mengerti dengan semua keinginanku, andai saja mama mengijinkan dan memberi aku sedikit kebebasan, tentu aku tidak perlu berbohong.
Akibatnya, sepulang dari rekreasi kakiku memar-memar karena dalam perjalanan ke air terjun aku sempat tergelincir beberapa kali dari batu sungai yang licin, syukurnya kakiku tidak sampai terkilir dan lebih bersyukur lagi karena mama tidak curiga. Malamnya rasa sakit menjelajari pahaku, bukan main, aku sampai nangis dengan isakan yang kutahan sekuat mungkin biar tak kedengaran orang rumah.
Namun, dari situ aku mulai menyadari bahwa ijin orang tua itu penting banget. Pas dengan hadis Rasul yang bunyinya keridhoan Allah tergantung ridho orang tua dan kemurkaan Allah tergantung dengan murka orang tua” (H.R Tirmidzi). Berarti kalau orang tua gak ridho atau gak ngasih ijin Allah juga gak ridho dong. Dan kalau Allah gak ridho, kemungkinan akan terjadi sesuatu yang buruk, seperti yang aku alami saat itu. Wallahua’alam bisshawab.
Pernah juga aku memohon pada mama agar mengijinkan aku libur ke luar kota. Aku ingin melihat dunia luar, itu impian besarku kala itu. Maklum sejak lahir sampai besar mama tak pernah membolehkan anak-anaknya liburan jauh. Liburan artinya gak ke sekolah dan tinggal di rumah saja. Tidak seperti teman-teman sekolahku yang umumnya tiap liburan panjang pasti diajakin orang tua mereka ke luar tanah papua, atau ke kampung orang tua mereka masing-masing. Ada yang ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke luar negeri. Lha aku? berkarat di rumah, ihiks.
Setiap aku memohon, mama selalu bilang nanti, ada waktunya kamu boleh keluar kota, nanti, sekaligus setelah kamu lulus SMA saja. Nanti, kalau udah mau kuliah. Aish, aku sempat kesal, sempat uring-uringan, sempat ngambek. Ry, masa' cuma mau keluar kota saja harus nunggu selama itu. Pada akhirnya memang aku benar-benar baru dikasih tiket "merantau" ke dunia luar setelah mengantongi ijazah SMA.
Benar kata mama, akan ada waktunya aku dibiarkan lepas dari sangkar kemudian dibolehkan terbang bebas ke angkasa seorang diri. Dan itulah yang sedang aku rasakan selama empat tahun terakhir ini. Sejak memesiunkan seragam putih abu-abu (tahun 2010), mama membiarkan aku sendiri menentukan pilihan hidup. Asal tetap melanjutkan study, mengenai jurusan dan kampus yang kuinginkan semua mama serahkan padaku. Baru kali itu aku merasa benar-benar diberi kepercayaan sepenuhnya sama mama. Aku tak dituntut agar menjadi seperti yang beliau inginkan, yang setahuku mama menginginkan anaknya agar kuliah di bidang kesehatan, tapi aku malah larinya ke jurusan pendidikan.
Kini, empat tahun sudah aku menjalani hidupku di tanah perantauan, Kota Daeng. Jauh dari mama membuatku hidup bagai seekor burung yang bebas terbang kemanapun yang aku inginkan. Sudah tidak ada lagi yang ngelarang-ngelarang aku keluar malam, aku juga gak perlu repot-repot berusaha mencuri ijin dari mama, sebab makin ke sini, makin bertambah umur, aku makin diberi kepercayaan pertanda mama mulai mengurangi tingkat kecemasan terhadap putrinya.
Ry, kalau dulu aku negatif thinking dan sebel dengan sikap mama yang over perhatiin, ah..sekarang justru aku yang sangat merindukan kembali over perhatian mama. Rindu dengan omel-omelannya, juga aturan-aturannya dalam rumah serta ketegasan mama. Setiap orang tua punya cara berbeda memperlakukan anaknya dan mungkin menurut mama dengan mengekang itulah cara terbaik membesarkan anaknya hingga kelak beliau bisa dengan tenang melepaskan anaknya merantau ke negeri orang.
Kau tahu kan, Ry? Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan mama apalagi menyalahkan beliau yang telah membesarkanku dengan cara seperti itu. Aku saja yang kurang peka memaknai semua perlakuan mama selama ini. Biar bagaimanapun semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, walau terkadang cara mereka bertentangan dengan keinginan sang buah hati. Sekarang aku mengerti, sesungguhnya mama tidak pernah benar-benar membiarkan aku terkungkung dalam aturannya, beliau hanya mengajariku untuk kuat bertahan dalam sebuah kurungan sebelum mengijinkanku mengepakkan sayap di angkasa.
6 komentar untuk "Ketika Mama Melarang"
akhirnya apa yang Zhie alami membuat Zhie mengerti kan bahwa semuanya bertujuan untuk kebaikan Zhie sendiri. karna anak perempuan pastilah sangat dikhawatirkan jika keluar malam tanpa pengawasan. apalagi diusia yang masih remaja, masih labil kan.
sekarang setelah diberi kebebasan menentukan segalanya, harus bisa pula menjaga kesempatan itu sebaik-baiknya buat lebih membanggakan orang tua. :)
Yang pasti, nasihat orang tua itu harus kita dengerin. Walaupun beda pendapat dengan kita. Gak enak kalo suatu saat "gak ada" yang ngelarang kita lagi :)
Ceritanya mirip mirip sama kisah hidupku
Orang tuaku juga gitu apa apa dilarang apa apa dilarang. Eum sebenernya ayahku gakpernah bilang 'gak boleh' sih. Tapi caranya itu loh. Beliau pasti akan bikin aku sampe nyerah minta ijin terus bilang. 'Yaudah lah yah, gak jadi' gitu. Ya intinya sama aja sih gak ngebolehin. Tapi menurut aku wajar sih, habisnya aku anak cewek satu satunya. Padahal kakak sma adikku itu bebas mau ngapain aja gak pernah dilarang, mungkin karenena mereka cowok. Tapi, emang dasarnya aku yang bengal, dan cendrung nakal. Jadi sering nyuri nyuri kesempatan.
Loh malah ikutan curcol hehe
Hae Zhie, kangen nih lama gak mampir di blog gadis senja ini :)
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.