Ramadhan Tak Musti Kelabu
Sejak
kecil aku selalu melewati ramadhan bersama papa dan mama serta kedua
saudariku di Serui, salah satu kota lumayan terpencil yang berada di
Ujung Timur Indonesia. Bertahun-tahun lamanya tak pernah ada satupun
hari di bulan Ramadhan yang aku warnai tanpa kehadiran mereka. Mama yang
selalu bangun lebih awal saat suami dan ketiga buah hatinya masih
terbuai mimpi, demi menyiapkan santapan makan sahur untuk keluarga
kecilnya, sekalipun mata beliau sendiri masih terasa berat. Kemudian
membangunkan kami ketika makanan yang beliau suguhkan sudah tertata rapi
di meja makan. Aku sangat hapal, menu makanan sahur kami di awal
ramadhan yang di hidangkan mama pastilah ayam di samping sayur sup, menu
yang mungkin dianggap biasa bagi keluarga lain, namun bagi keluarga
kami yang kesehariannya sering makan ikan laut, ayam termasuk menu
special yang wajib ada tiap menyambut datangnya bulan special.
Dan satu-satunya lelaki di keluarga kami adalah papa yang tak pernah bosan memanjakan ketiga putrinya, beliau selalu mengajak kami jalan-jalan tiap sore menjelang senja sambil menunggu waktu berbuka, kalau sekarang istilahnya 'ngabuburit', paling sering ke taman kota atau mencari menu berbuka di Pasar untuk dibawa pulang ke rumah, tentunya kami diajak secara bergiliran, terkadang aku dan kak Vhie, kak Vhie dan Aya atau yang paling sering aku dan Aya, karena motor papa cuma satu dan cuma muat untuk 3 orang, papa dan kedua anaknya, jadi salah satu dari kami harus ada yang mengalah. Sebagai anak tersulung yang usianya terpaut agak jauh dari aku dan Aya, maka kak Vhie lah yang paling sering mengalah. Begitulah sepenggal moment ramadhanku di masa kanak-kanak.
Dan satu-satunya lelaki di keluarga kami adalah papa yang tak pernah bosan memanjakan ketiga putrinya, beliau selalu mengajak kami jalan-jalan tiap sore menjelang senja sambil menunggu waktu berbuka, kalau sekarang istilahnya 'ngabuburit', paling sering ke taman kota atau mencari menu berbuka di Pasar untuk dibawa pulang ke rumah, tentunya kami diajak secara bergiliran, terkadang aku dan kak Vhie, kak Vhie dan Aya atau yang paling sering aku dan Aya, karena motor papa cuma satu dan cuma muat untuk 3 orang, papa dan kedua anaknya, jadi salah satu dari kami harus ada yang mengalah. Sebagai anak tersulung yang usianya terpaut agak jauh dari aku dan Aya, maka kak Vhie lah yang paling sering mengalah. Begitulah sepenggal moment ramadhanku di masa kanak-kanak.
Ramadhan
bersama keluarga memang menjadi moment berharga yang menorehkan kesan
tersendiri di hati masing-masing orang yang merasakannya. Sahur bareng,
buka bareng, tarawih bareng dengan orang-orang terdekat adalah rutinitas
di bulan ramadhan yang sayang terabaikan begitu saja bila kesempatan
itu masih ada. Sebab kini kusadari kesempatan yang sama tak selalu
hadir, tiga tahun silam ramadhanku masih bersama papa dan mama, ramadhan
tahun lalu pun aku masih di beri kesempatan pulang kerumah setelah dua
tahun menjejaki tanah yang sama dengan tempat study kak Vhie,
walau sudah sekian tahun berlalu sejak kak Vhie lulus SMA dan merantau
ke tanah Daeng guna meraih bintang di angkasa sana untuk ia persembahkan
kepada papa dan mama. Bukankah begitu impian orang tua, mengirimkan
anaknya sekolah tinggi-tinggi sekalipun itu berarti ia harus berpisah
dengan sang buah hati, hanya untuk mewujudkan satu mimpi, menyaksikan
anaknya sukses. Setahuku orang tua tak pernah memikir diri mereka
sendiri, yang lebih mereka pikirkan adalah kesejahteraan hidup
anak-anaknya kelak setelah mereka tiada. Tahun kepergian kak Vhie
merupakan tahun yang sama dengan kelahiran adik bungsuku, Auliya. Sejak
itulah keluarga kami belum pernah utuh lagi merangkai hari-hari ramadhan
bersama. Gimana tidak? hampir 4 tahun setelah kepergian kak Vhie
menuntut ilmu ke pulau seberang, aku pun menyusul lalu dua tahun
kemudian Aya, sehingga yang tersisa di rumah hanya papa dan mama di temani si kecil Auliya yang 4 bulan lagi berumur tujuh tahun. Auliya
sendiri pun belum pernah melihat ketiga kakaknya secara bersamaan, ah..
padahal aku sangat menanti Ramadhan, dimana semua anggota keluargaku
berkumpul utuh.
Ramadhan
1434 H, menjadi kali kedua aku melewati ramadhan tanpa papa, mama, kak
Vhie, Aya, serta adik bungsuku. Padahal ada kesempatan libur panjang
apalagi bertepatan dengan bulan ramadhan, siapa sih yang gak mau mudik? Teman-teman sekelasku di
jurusan Pendidikan Matematika UIN Alauddin semua sudah pulang ke kampung
masing-masing, termasuk mereka aku yang kampungnya lumaya jauh, seperti si Lia
dari dari Nusa Tenggara Barat (NTB), sedangkan yang lainnya berasal
dari berbagai penjuru daerah di sekitaran Sulawesi Selatan. Mereka
mudiknya gampang, setidaknya gak musti menempuh perjalanan laut yang
memakan waktu 5 hari 5 malam dengan kapal untuk sampai ditujuan.
Paling-paling hanya menempuh perjalanan darat tidak sampai seharian,
sekitar 5-6 jam doang, sampai deh. Boleh di bilang di antara teman-teman
seperjuanganku di kampus itu, aku yang asalnya paling jauh, yaitu di
bumi Cendrawasih alias Papua. Sebenarnya dekat sih kalau naik pesawat
hanya butuh waktu 1-2 jam, namun setelah aku pikir-pikir mending uangnya
dipakai untuk pembayaran SPP aku yang sisa dua semester, toh setelah
berhasil mengenakan toga dan menyandang gelar, aku akan kembali
mengabdikan diri di kampung kelahiran, Insya Allah tahun depan. Jadi
biarlah aku nikmati saja hari-hari ramadhan di kota yang terkenal dengan
pantai Losarinya ini.
Ramadhan
sendiri itu rasanya nyesek lho, seperti ada yang kurang, terlebih saat
menanti buka puasa atau bangun sahur dan makan tanpa ada yang menemani.
Kalau sudah seperti itu pasti ingatanku akan melayang ke rumah, dan
mengenang kembali ramadhan-ramadhanku di kampung kelahiran yang sering
juga di sebut kota ACIS. Jika ramadhan di Makassar, maka bisa kita lihat
di sudut-sudut jalan terpajang baliho-baliho besar berterakan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa,
sorenya bisa kita temui di sepanjang jalan besar bahkan di jalan-jalan
kecil, berjejer para penjual menu berbuka mulai dari pisang ijo,
berbagai jenis kue hingga bermacam-macam es buah. Masjid di kota
Makassar pun yang jumlahnya tak terhitung ada sekitar ratusan mungkin,
selalu menggema keras di waktu-waktu shalat terlebih saat menjelang
berbuka, serta saat ceramah tarwih maupun khutbah jumat. Lalu malamnya
diramaikan dengan suara petasan. Suasana yang sungguh tidak pernah aku
jumpai di Serui yang penduduknya mayoritas nasrani. Disana hanya ada 5
masjid yang baru berbunyi ketika adzan tiba, lantunan ayat-ayat
Allah juga hanya terdengar menjelang maghrib. Di Makassar kita masih
bisa mendengar suara ustad ceramah dari rumah, nah kalau mau
dengar ceramah di Serui harus ke mesjid dulu. Kalau malam tak ada
bunyi-bunyi petasan. Tampak kontras memang tapi bagiku suasana ramadhan
di Serui jauh lebih terasa nikmatnya meski tak seramai kota Makassar,
mungkin karena di sana keluargaku tinggal. Jadi dimanapun aku melewati
ramadhan, ramadhan bersama keluargalah yang selalu menorehkan kesan
paling indah. Namun bukan berarti tak bisa melewati ramadhan bersama
mereka, membuat ramadhanku kali ini berwarna kelabu. Harus tetap ceria
dong, karena ramadhan hadir sebagai bulan istimewa bagi orang-orang
beriman. Kata Allah semua amal yang kita lakukan di bulan ini akan
dilipatgandakan lho. Lebih sayang lagi kan, kalau hanya karena gak bisa
ketemu keluarga kita jadi galau bin dilema, yang akan berdampak turunnya
minat beramal padahal yang lain pada berfastabiqulkhairat, berlomba-lomba pada kebaikan. Insya Allah masih ada tahun depan, atau ramadhan di tahun-tahun yang akan datang jika umur panjang. Berharap semoga Allah masih memberi aku kesempatan berkumpul dengan keluargaku tercinta:)
Makassar,
16 Ramadhan 1434H
Makassar,
16 Ramadhan 1434H
Tulisan ini diikutsertakan untuk GA dalam rangka Ramadhan Giveaway dipersembahkan oleh Zaira Al ameera, Thamrin City blok E7 No. 23 Jakarta Pusat
8 komentar untuk "Ramadhan Tak Musti Kelabu"
ayam sama soup mah itu bukan lauk yg biasa tapi luar biasa.
btw gaya tulisannya aku suka :D lugas dan tertata rapi
Semoga menang GA nya juga ^_^
semangat Zhie!!!!
semoga menang GAnya kakah ^o^)9
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.