Tentang Mimpi yang Sederhana
Ini adalah tentang mimpi yang sederhana. Mimpi yang tak muluk-muluk. Tentang mimpi saya yang ingin menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Sesederhana itu. |
pixabay |
Mimpi. Saya merasa tiga tahun belakangan ini, tepatnya semenjak memutuskan kembali ke rumah orang tua di penghujung duaribuempatbelas silam semua yang saya alami seperti mimpi. Dan memang seperti itulah mimpi yang saya tautkan dalam hati. Allaah yang mewujudkannya. Menjadikan mimpi saya bukan sebatas khayalan semata. Ia menjelma nyata, beriringan dengan jalan hidup yang saya pilih.
Keputusan memilih kembali ke rumah orang tua selepas wisuda juga sebenarnya bukan pilihan mudah semudah mengedipkan mata. Jujur saja, setelah berhasil mengenakan toga saya justru dilanda galau yang hebat. Berupa-rupa emosi negatif berhasil menghantui. Bingung. Takut. Cemas. Kalut. Panik. Entahlah, saya benar-benar tak tahu harus kemana melangkahkan kaki setelah pensiun berstatus sebagai mahasiswi. Berhari-hari saya larut memikirkan jawabannya. Lanjut kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau fokus meniti karir seharusnya bisa menjadi pilihan terbaik.
Anehnya, saya malah menemukan pilihan yang lain. Padahal saya telah mengantongi 'tiket' untuk mendaftar pascasarjana S2 atau melamar pekerjaan sebagai guru honorer di sekolah-sekolah sembari menunggu pendaftaran CPNS kembali terbuka. But, salah satu atau salah duanya dari kedua pilihan tersebut sama sekali tidak menarik hati saya.
IRT.
Itu pilihan lain yang tidak pernah terlintas dalam benak saya akan menjadi mimpi atau sebut saja cita-cita. Sejauh ini cita-cita saya memang kerap berubah. Semasa kanak-kanak saya pernah bercita-cita menjadi dokter namun cuma bertahan hingga menginjak usia remaja. Dengan penuh kesadaran harus saya akui, saya tidak lagi bercita-cita ingin menjadi dokter setelah berkali-kali isi perut saya serasa dikoyak-koyak lalu terdesak keluar setiap melihat darah merah yang bercucuran dari tubuh orang lain. Barangkali bila sanggup melihat 'darah' saya akan bersungguh-sungguh menggapai cita-cita saya itu. Lagipula saya berhenti bercita-cita menjadi dokter bukan karena tidak bisa lho. Bisa sih tapi ya bagaimana mau jadi dokter, lihat darah saja, mual-muntah, menatap luka menganga, ngeri. Masuk rumah sakit, bergidik. Ah, saya keliru. Mungkin, waktu pertama kali ditanya tentang cita-cita, saya asal saja menjawab pengen jadi dokter, secara waktu itu kan saya masih kanak-kanak, masih belum paham arti cita-cita.
IRT.
Itu pilihan lain yang tidak pernah terlintas dalam benak saya akan menjadi mimpi atau sebut saja cita-cita. Sejauh ini cita-cita saya memang kerap berubah. Semasa kanak-kanak saya pernah bercita-cita menjadi dokter namun cuma bertahan hingga menginjak usia remaja. Dengan penuh kesadaran harus saya akui, saya tidak lagi bercita-cita ingin menjadi dokter setelah berkali-kali isi perut saya serasa dikoyak-koyak lalu terdesak keluar setiap melihat darah merah yang bercucuran dari tubuh orang lain. Barangkali bila sanggup melihat 'darah' saya akan bersungguh-sungguh menggapai cita-cita saya itu. Lagipula saya berhenti bercita-cita menjadi dokter bukan karena tidak bisa lho. Bisa sih tapi ya bagaimana mau jadi dokter, lihat darah saja, mual-muntah, menatap luka menganga, ngeri. Masuk rumah sakit, bergidik. Ah, saya keliru. Mungkin, waktu pertama kali ditanya tentang cita-cita, saya asal saja menjawab pengen jadi dokter, secara waktu itu kan saya masih kanak-kanak, masih belum paham arti cita-cita.
Sekalinya sudah paham dan sadar kalau dokter bukan cita-cita yang cocok dengan 'keadaan' yang seperti itu, saya yang kelimpungan. Bingung, mau bercita-cita jadi apa selain dokter. Saya telat sadar, ternyata menetapkan cita-cita itu lebih susah dari mengerjakan soal-soal ujian nasional. Yup, semestinya jauh-jauh tahun saya sudah menetapkan lebih dulu cita-cita saya yang baru bukannya menjelang UN baru kelabakan, cari cita-cita.
Sebelumnya sempat bilang sih ke mama, lulus SMA saya pengen kuliah di jurusan sastra saja. Reaksi mama pas tahu putri keduanya mau masuk jurusan sastra, Oh, No! Kata mama, jurusan sastra kurang menjamin masa depan. Mungkin maksud mama kalau ngambil sastra ribet cari kerjanya dan kecil peluang buat jadi PNS. Maklum, mama pengen anaknya ngikutin jejak beliau. Sepertinya kebanyakan orang tua punya pola pikir yang sama deh, anak mereka dibilang sukses dan terjamin masa depannya kalau sudah resmi jadi PNS. Tapi pemikiran saya sebagai anak, malah sebaliknya. Sukses itu nggak musti jadi PNS. Ada banyak jalan kok menuju sukses bukan cuma menuju roma saja yang banyak jalannya, hehe. Dan ya, saya nggak terobsesi jadi PNS.
Pengen masuk jurusan sastra pun bukan karena saya pengen jadi sastrawati, cuma karena hobi dan minat saya di dunia membaca dan menulis jadi kayaknya saya lebih cocok deh masuk di jurusan sastra ketimbang eksak. Saking sukanya saya dengan buku-buku dan menarikan jemari di atas kertas sembari mengkhayal kalau-kalau saya bisa nerbitin buku yang di sampulnya ada nama @siskadwyta. Sempat pula terlintas cita-cita pengen jadi penjaga perpustakaan semasa masih rajin-rajinnya saya mengunjungi perpustakaan tiap pulang dari Sekolah (Menengah Pertama).
Yah, perpustakaan adalah surga bagi si kutu buku; tempat paling indah dan tentu lebih nyaman dibanding rumah sakit. Ya iyalah siapa juga yang doyan mengunjungi rumah sakit. Enaknya menjadi penjaga perpustakaan, bakal dikelilingi buaaanyaaak buku dan bisa membaca puasss-puaasss secara gratisss. Allaahu, saya sampai ngebayangin betapa nikmatnya menjadi penjaga perpustakaan.
Tapi, karena reaksi mama kurang mendukung, cita-cita masuk di jurusan sastra saya anggap angin lalu. Pun karena semenjak SMA kekutuan saya pada buku mulai meredup jadi minat saya menjadi penjaga perpustakaan ikut pula meredup. Apoteker menjadi cita-cita saya selanjutnya. Entah, itu asal pilih cita-cita (lagi) atau obsesi semata. Saya tetap pengen melanjutkan pendidikan di bidang kesehatan. Namun mengingat 'keadaan' yang nggak bisa berhubungan langsung dengan luka, darah dan bla bla bla ditambah nggak suka berlama-lama di rumah sakit so pilihan saya jatuh pada jurusan farmasi. Setidaknya bau obat-obatan nggak bakal bikin saya mual-muntah, ngeri dan bergidik. Toh, seorang apoteker kerjanya di apotik, atau bisa buka usaha apotik sendiri, nggak wajib kerja di rumah sakit.
Lepas kelulusan SMA, semakin ngotot keinginan saya masuk jurusan farmasi. Target perguruan tinggi incaran saya pun tak tanggung-tanggung. Pokoknya saya pengen kuliahnya nanti di kampus A (perguruan tinggi negeri ternama di kota Daeng). Saya sampai ikut tiga jalur pendaftaran di kampus tersebut. Pertama, jalur non test. Hasilnya belum beruntung. Kedua lewat jalur ujian seleksi nasional (dulu namanya masih SMPTN) hasilnya juga masih sama. Belum beruntung. Nah, ketiga kalinya saya ikut jalur lokal non subsidi dan hasilnya, maa syaa Allah, bikin saya langsung sujud syukur, nangis terharu seketika. Ujung-ujungnya saya malah nangis sesenggukan di pinggir danau kampus A diiringi lagu "Ya Sudahlah" milik Bondan Prakoso yang sengaja saya putar lewat hp.
Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud ya sudahlah
Saat kau berlari dan mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai ya sudahlah
Apapun yang terjadi
Ku kan selalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Cause everythings gonna be OK
...
Lagunya mewakili banget kondisi hati saya saat itu. Paling tidak lirik lagunya bisa sedikit menghibur hati saya yang lagi mellow-mellownya. Hiks. Pupus sudah harapan saya jadi mahasiswi jurusan farmasi di kampus A.
Setelah keluar pengumuman di kampus A, saya baru tahu bahwa calon mahasiswa/i yang lulus mengikuti jalur non subsidi diwajibkan membayar uang pendaftaran yang biayanya subhanallaah menyaingi uang panai' lho. Haha. Mikirin uang sebanyak itu saja sudah bikin beban pikiran. Saya nggak mau cuma gara-gara ngotot masuk farmasi di kampus A orang tua juga ikut terbebani. Mending saya mundur, cari kampus lain yang biaya masuk kuliahnya terjangkau ketimbang bertahan di kampus yang biayanya selangit.
Meski akhirnya orang tua tetap mendukung dan menyanggupi biaya masuk di kampus A, tapi namanya bukan jodoh pasti ada saja halangannya. Ijazah SMA saya masih tertinggal di Papua, sementara untuk mendaftar ulang masuk di kampus A, salah satu persyaratan wajib harus menunjukkan ijazah asli, bukan dalam bentuk fotokopian atau fax. Ah, ya sudahlah. Allah tidak menakdirkan saya berjodoh kuliah di kampus A. Tak apa. Esok-esok malah saya yang tertakjub-takjub dengan takdir Allah yang menjodohkan saya bukan dengan kampusnya tetapi langsung dengan orangnya, maksud saya seseorang yang pernah kuliah di kampus yang dulu saya idam-idamkan itu. Uhuk.
Next, gagal lulus di kampus A, saya sempat beralih ke kampus swasta, cuma sebatas mendaftar dan ikut test tertulis. Test wawancaranya saya sengaja tidak datang karena merasa nggak 'sreg' dengan lingkungan di kampus tersebut.
Qadarullaah, saya malah terdampar di kampus C (satu-satunya perguruan tinggi negeri islam yang ada di kota Daeng) dengan jurusan yang tidak pernah ada dalam kamus saya semasa sekolah, terlintas sedikit pun tidak. Selain rumah sakit, tempat yang paling tidak ingin saya kunjungi kembali adalah sekolah. Bahkan di mata saya sekolah adalah tempat paling membosankan se-dunia. Ibaratnya sekolah itu semacam penjara bagi saya, lulus dari sekolah bagai keluar dari tahanan. Wajar saja anggapan seperti itu yang bikin saya ogah kembali ke sekolah selama-lamanya. Namun siapa sangka, lima tahun kemudian setelah menanggalkan status sebagai siswi SMA, hanya saya satu-satunya dari sekian ratus teman seangkatan yang kembali ke sekolah tersebut dengan status sebagai guru.
Amazing. Rencana Allaah sungguh di luar dugaan. Seumur-umur saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru, bahkan setelah gelar S.Pd tersemat di belakang nama, saya tidak berniat akan bekerja dan mengabdikan diri di sekolah. Kalau dari dulu bercita-cita menjadi guru pasti target saya kuliah di kampus B (perguruan tinggi negeri khusus pendidikan guru yang ada di kota Daeng). Nyatanya, saya tidak pernah mendaftarkan diri di kampus tersebut karena saya tidak ingin menjadi guru. Lha kok bisa kuliah di jurusan yang berorientasi guru?
Sebenarnya waktu mendaftar di kampus C, pilihan pertama saya masih jurusan farmasi, pilihan ke-dua-nya saya iseng ambil jurusan pendidikan, eh malah pilihan ke-dua saya yang lulus. Terpaksa deh, saya merelakan diri kuliah di jurusan pendidikan daripada nganggur alias ngak kuliah. Huhuhu.
Well, selama menjalani dua semester, saya mulai merasa nyaman dan kondusif dengan suasana kampus C, akhirnya malah bersyukur Allah menakdirkan saya menjadi mahasiswi di kampus yang basicnya agama. Maklum, pendidikan yang saya tempuh sejak SD-SMA di sekolah umum, bukan di MI/MTs/MA jadi mata pelajaran kuliah seperti Bahasa Arab, Sejarah Peradaban Islam, Akidah Akhlak, Tafsir, Hadis, Ummul Qur'an baru saya dapatkan saat kuliah. Alhamdulillaah, banyaklah pencerahan-pencerahan yang hinggap di kepala saya selama menjadi mahasiswi di kampus C.
Eniwei, karena sudah betah dengan lingkungan kampus C tapi masih terbayang-bayang pengen jadi apoteker, tahun berikutnya saya kembali mendaftar jurusan farmasi di kampus yang sama. Yup, saat itu mindset saya tentang kampus sudah berubah. Nggak kayak dulunya yang ngebet pengen masuk kampus A hanya karena kampus tersebut adalah kampus terbaik se-Sulsel bahkan masuk sepuluh besar kampus terbaik se-Indonesia. Padahal kampus terbaik mana pun tidak menjamin setiap mahasiswanya juga menjadi yang terbaik dibanding mahasiswa-mahasiswa dari kampus yang berada di level bawahnya. Menjadi terbaik atau sebaliknya tergantung pada masing-masing individu mahasiswanya. Lagipula mahasiswa yang kuliah di kampus terbaik tapi malas-malasan ke kampus, nilai anjlok, suka ikut demo-tawuran sama saja, levelnya berada di bawah mahasiswa rajin yang kuliah di kampus lain namun nilainya tinggi, akhlaknya baik dan nggak pernah ikut demo-tawuran. Iya nggak?
Ups. Saya tidak bermakud ngeles lho, cuma share pemikiran saja, hehe jangan sampai pemikiran kita terlalu sempit memaknai hidup. Tidak semua yang kita inginkan, itu yang terbaik. Namun, takdir yang Allah kasih, meski kadang tak sesuai dengan keinginan, pastilah yang terbaik. Believe. Saya sudah ngejalanin sih, jadi bisa sok bijak nulis kayak gini. Awalnya saya memang pengen kuliah di kampus A, tapi setelah saya jalani kurang dari empat tahun justru saya sangat bersyukur dan merasa takdir saya di kampus C adalah yang terbaik.
Menjadi mahasiswa farmasi juga barangkali bukan takdir terbaik untuk saya atau boleh jadi saya nanti yang tidak sanggup melewatinya mengingat waktu masih semester-semester awal di jurusan pendidikan saja, saya begitu kewalahan nyaris tak sanggup menjalani praktikum fisika, biologi dan kimia. Sedangkan yang namanya jurusan farmasi makanan sehari-harinya adalah praktikum. Praktikumnya pun bukan cuma di semester awal tapi di sepanjang semester. Oh, my God. Saya tidak bisa ngebayangin misalkan saya beneran lulus di jurusan farmasi di tahun berikutnya, apa jadinya saya?
Syukurnya, kali kedua di tahun kedua saya mendaftar jurusan farmasi di kampus C hasilnya tidak lulus dan sejak saat itu saya mulai menerima kenyataan dan menyadari bahwa menjadi mahasiswa pendididikan calon guru adalah takdir terindah yang Allah tetapkan untuk saya, walau saya masih saja tidak bercita-cita menjadi guru.
Finally, saya ingin menjadi IRT. Itu kJadilah Blogger Muslimah yang Menginspirasialimat yang terbetik di hati saya lepas berhari-hari dilanda galau yang berat lepas wisuda. Haha, konyol banget ya? Untuk apa sekolah tinggi-tinggi bila endingnya cuma mau bekerja di rumah?
Yip. I know. Tapi justru itulah cita-cita saya yang sebenarnya yang baru saya temukan setelah menjalani dua tahun di TK, enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, tiga tahun di SMA dan tiga tahun lebih di Perguruan Tinggi. Justru itulah jawaban yang saya dapatkan setelah mengenyam pendidikan berbelas tahun lamanya. Justru itulah alasan yang hati saya pilih setelah menyabet gelar sarjana.
Really, i want to be IRT.
Bukan dokter. Bukan sastrawati. Bukan Penjaga perpustakaan. Bukan Apoteker. Bukan Guru. Bukan apa pun. Mimpi saya sederhana saja. Ingin menjadi IRT.
Well, demi menggapai mimpi sederhana itu, pasca wisuda saya memutuskan pulang ke rumah orang tua, bukan memilih melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau sibuk mencari jodoh pekerjaan.
Kalau sudah niat banget jadi IRT harusnya langkah selanjutnya yang saya ambil; cari patner hidup yang mau mengajak saya membangun tangga dalam rumah berdua bukannya malah pulang ke rumah orang tua. Eh, atau jangan-jangan ada yang mengira saya memutuskan pulang karena mau cari jodohnya di Papua. Kenapa nggak cari jodohnya di kota Daeng saja. Ups!
Cita-cita saya menjadi IRT memang hanya bisa terwujud bila saya telah menggenap bersama seorang lelaki yang kelak saya panggil Zaujii (baca ; suamiku). Tapi, saya sama sekali tidak berpikiran mau fokus cari jodoh. Yang terhujam dalam tekad saya malah, saya harus pulang, kembali pada orang tua. Bukan dengan maksud, supaya mereka yang carikan saya jodoh lho, haha.
Berbakti. Itu langkah yang saya ambil sebelum cita-cita menjadi IRT terwujud. Sebenarnya saya bisa saja memilih untuk tidak pulang, toh, orang tua juga tidak memaksa apa pun pilihan saya, tapi dengan konsekuensi semua 'beasiswa' yang sebelumnya saya terima tiap bulannya dari mereka akan diputuskan.
Okelah, saya sanggup menerima konsekuensi itu. Saya sudah cukup dewasa hidup mandiri dan cari uang sendiri. Lagipula saya yang akan merasa malu bila sudah disekolahkan sampai perguruan tinggi namun setelah meraih gelar sarjana masih bergantung sama orang tua. Paling kalau menetap saya bakal cari kerja di sekitaran kota Daeng.
Sempat pula sih ada tawaran dari salah seorang kakanda di Ikatan yang mau mengusahakan mencarikan saya sekolah asal saya tidak pulang kampung. Atau barangkali sembari mencari kerja saya juga fokus menyiapkan diri untuk bisa mendapatkan beasiswa S2. Jaman sekarang kan mudah mengakses info-info tawaran beasiswa baik dalam negeri mau pun luar negeri.
Seingat saya, ada beberapa orang juga yang sempat menyarankan saya lanjut S2 bahkan terkesan mendesak, seolah-olah menyayangkan kepulangan saya. Sayangnya, keputusan itu sudah terlanjur membulat. Orientasi saya bukan lagi menambah gelar atau berkarir. Cita-cita saya setelah sarjana hanya ingin menjadi IRT karenanya saya harus pulang.
Alasan pastinya, entahlah. Saya cuma merasa, cepat atau lambat akan ada yang datang membawa saya pergi dari kedua orang tua saya. Entah, malaikat perengut nyawa atau jodoh yang Allah utus lebih dahulu menjemput saya. Atau justru saya yang akan lebih dulu ditinggalkan oleh mereka. Entah apa yang akan terjadi bila saya tetap memilih berjarak dengan mereka sementara kian waktu berlalu, jatah hidup kami pun kian berkurang.
Kurang. Itu juga perasaan yang saya rasakan selama hampir tujuhbelas tahun tinggal seatap bersama mereka. Bakti saya sungguh masih sangat berkurangan. Saya belum bisa membalas jasa-jasa kedua orang tua saya dan selamanya memang tidak akan bisa. Namun, saya berusaha mencerna apa yang paling diinginkan orang tua ketika anak-anaknya telah menjelma dewasa.
Berkumpul.
Yup. Waktu berkumpul bersama keluarga dengan personil lengkap menjadi hal yang sangat langka semenjak saya dengan kedua saudari saya melanjutkan pendidikan di tanah rantau. Syukurnya, Allah masih menganugerahkan mama dan papa si putri bungsu yang umurnya terpaut belasan tahun dengan kakak-kakaknya, jadinya beliau berdua tidak terlalu kesepian saat ketiga putrinya meninggalkan rumah.
Waktu itu, Kak Vhie, kakak saya satu-satunya yang pertama meninggalkan rumah setelah menikah, ikut suaminya, adik saya Aya masih kuliah di kota Perantauan lalu yang tersisa di rumah cuma mama, papa dan si putri bungsu. Sedangkan posisi saya resmi telah menjadi pengangguran, baru lulus kuliah, belum sempat cari kerja apalagi cari jodoh, nggak niat lanjut kuliah lagi niatnya mau langsung nikah *eh trus untuk apa saya tetap bertahan di kota Daeng sementara ada orang tua yang lebih membutuhkan keberadaan saya di rumah.
Baiklah. saya pulang. Balik Papua. Meninggalkan semua kenangan saya yang ada di kota Daeng. Orang-orangnya. Jalan-jalannya. Senjanya. Hujannya. Semua semuanya. Hiks. Ya Allah, rasanya berat banget ningalin kota yang meski belum sempurna lima tahun saya jejaki namun telah menyublim bertumpuk kisah yang mengakar kuat di hati.
Sejujur-jujurnya dari lubuk hati yang paling dalam saya tidak ingin meninggalkan kota pertama yang mengenalkan saya pada ukhuwah paling indah. Di sana ada saudara-saudara seikatan yang senantiasa mengajak saya pada kebaikan dan berjuang di jalan kebenaran. Saudara-saudara yang saya anggap layaknya saudara kandung sendiri bahkan rasanya melebihi saudara sedarah.
Baca juga Tentang Cintaku Padamu
Tak berbilang 'kenangan' perjuangan yang telah kami rangkum bersama. Menaklukkan panjangnya perjalanan. Menembus hujan. Menghalau angin. Bermalam-malam menahan rasa kantuk. Bersiang-siang di bawah terik. Melingkar hingga menjemput senja. Allah, ukhuwah yang semacam itu dan saudara-saudara yang layaknya seperti mereka dimana lagi bisa saya temukan?
Itu satu-satunya hal yang bikin saya cemas bin khawatir kalau-kalau setelah kembalinya saya ke tanah kelahiran, saya tidak mendapati saudara-saudara baru yang seperti mereka, yang setia menularkan saya semangat untuk terus berjuang di jalan Allah. Saya kalut sekali, kalau-kalau dengan perginya saya dari tanah Daeng menarik saya kembali ke 'jaman jahilayah' bila tidak dikelilingi orang-orang yang bergairah berbagi kebaikan kepada saya.
Namun benarlah nasihat indah ini; "percayalah. Jika kita meninggalkan sesuatu karena Allaah, Allaah pasti akan menggantinya bahkan dengan sesuatu yang lebih baik"
Dan lihatlah! Apa yang terjadi setelah kepulangan saya. Setelah meninggalkan saudara-saudara seikatan di kota Daeng lantas sekejap saja Allah telah menggantinya dengan menghadirkan saudara-saudara baru dalam lingkaran ukhuwah bahkan dengan jumlah yang lebih banyak yang kerap menghiasi hari-hari saya. Mereka yang tak sungkan menegur bila saya salah. Mereka yang tiap pekannya semangat berlomba-lomba menularkan kebaikan. Mereka yang begitu sayang, begitu cinta begitu tinggi rasa pedulinya pada sesama.
'Mereka', ah betapa saya ingin berlarut-larut menceritakan tentang mereka 'saudara-saudara yang mengelilingi saya semasa di tanah Papua' tapi catatan ini pun sudah terlalu larut. Bila sempat saya akan menceritakannya di postingan lain saja.
Baca juga Mengenal Tujuh Jenis Persahabatan
Fokus kembali ke mimpi. Mimpi yang saya kejar hingga ke tanah Papua. Demi menjadi IRT. Saya pulang. Membawa misi terselubung. Cukup Allah yang tahu. Bagi saya, mengabdi pada orang tua adalah jalan terbaik meraih mimpi. Sebab mimpi saya bukan pengen jadi doktor atau wanita karir jadi saya tidak perlu sibuk-sibuk kuliah lagi kejar tittle sampai level S3 atau melamar pekerjaan di sekolah-sekolah. Mimpi saya di rumah saja. Membantu orang tua. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum saya benar-benar menjadi IRT sungguhan.
Dan sekarang. Dalam hitungan kurang dari tiga tahun. See! Mimpi saya sungguh terwujud. Dan rasa-rasanya memang (masih) seperti mimpi. Saya pulang ke Papua demi mengejar mimpi lantas mimpi itu pula yang mengejar dan membawa saya kembali ke Sulawesi, ke Tanah Daeng.
#ODOPOKT24
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
Posting Komentar untuk "Tentang Mimpi yang Sederhana"
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.