Beginikah Rasanya Pengangguran
Ternyata jadi pengangguran itu enak yah. Enak banget. Gimana gak enak coba kalau kerjaannya cuma nyantai sepanjang hari sepanjang malam. Gak perlu ribet mikirin seabreg tugas dari dosen, gak perlu susah payah kerja ke sana kemari. Gak perlu sibuk urus segala macam. Tinggal aja di rumah, toh gak ada yang protes apalagi mau marah. Setidaknya itu yang saya alami setelah resmi diwisuda tanggal 25 september kemarin. Setelah memesiunkan status sebagai mahasiswa, saya memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jarang keluar, bahkan boleh dibilang dalam sepekan hampir selama tujuh hari itu pula saya gak pernah lihat matahari ataupun bulan. Udah kayak pertapa aja :-D Kehidupan saya nyaris berbalik 180 derajat. Begitulah yang saya rasakan saat ini. Kalau dulunya saya termasuk tipikal mahasiswa yang (sok) super sibuk, sekarang malah saya yang (sok) cari-cari kesibukan.
Saya masih ingat sekali dengan rutinitas keseharian saya sewaktu masih berstatus mahasiswa. Jadwal perkuliahan saya berlangsung dari hari senin-jumat, sabtu-minggu, free. But do you know, i don't ever know free time when i still became a student. Yip, libur adalah sesuatu yang langka bagi saya yang boleh dibilang kerjaannya pas masih kuliah gak cuma pergi ngampus, saya punya beberapa organisasi, saya masuk study club, saya gabung di lembaga mengajar private dan karena itu saya jarang meluangkan banyak waktu untuk diri saya sendiri.
Terlebih karena saya tipe orang yang kalau sekali keluar ya keluar, urusan di luar kelar baru saya akan pulang ke kos. Atau kalau sekali istirahat ya istirahat, saya tidak akan keluar kos kalau memang tidak ada kegiatan penting plus mendesak di luar sana.
Semisal pagi ini ada jadwal kuliah sampai jam dua belas siang, sore dan malam saya ada jadwal ngajar private, siangnya itu sebenarnya waktu saya free, saya masih bisa pulang ke kos, istirahat sejenak barang sejam dua jam, tapi itu tidak akan saya lakukan. Saya akan lebih memilih nongkrong di perpus atau masjid kampus sambil nunggu waktu ashar tiba. Ba'da ashar baru lah saya cabut dari kampus langsung menuju rumah murid private saya. Kalau jadwal ngajar saya sampai sore, saya baru akan tiba di kos selepas maghrib atau kalau sampai malam paling lambat saya tiba di kos sekitar pukul sembilan malam. Bahkan pergi jam delapan pagi pulang jam delapan malam adalah rutinitas yang sudah biasa saya lakukan selama kurang lebih empat tahun ini. Belum lagi ditambah dengan kegiatan organisasi atau agenda-agenda mendadak semacam adanya seminar, workshop, training dsb yang mayoritas dijadwalkan hari sabtu atau minggu. Mentok, jika full semua maka tujuh hari dalam sepekan saya hampir gak punya waktu libur. Untuk nulis saja saya kadang-kadang harus nyuri waktu.
Ah, tapi saya pikir-pikir kesibukan saya itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh lebih sibuk daripada saya, bahkan meskipun saya sudah berusaha semaksimal mungkin menyibukkan diri tetap saja saya merasa bahwa masih banyak waktu saya yang terbuang sia-sia selama ini.
Oh ya, seperti yang saya katakan di atas, saya orangnya sekali keluar ya keluar, sekali sibuk ya sibuk. Sebaliknya sekali gak ada jadwal kuliah, ngajar atau kegiatan organisasi saya akan menghabiskan seluruh waktu saya yang boleh jadi sehari, berhari-hari, bahkan sepekan hanya mengurung diri di kos. Entah menurut orang aneh atau tidak, kaki saya justru merasa sangat berat melangkah, bila sudah berada dalam kos ((sekalipun cuma untuk beli makanan di depan lorong)) saya akan ogah-ogahan keluar. Saya justru merasa lebih ringan ketika sudah menyelesaikan semua urusan di luar ((sekalipun itu harus menghabiskan banyak waktu tanpa× istirahat)) baru pulang ke kos.
Nah, sekarang saya adalah sarjana pengangguran so that everyday is free time. Seharusnya saya senang karena saya akhirnya bisa balas dendam, melampiaskan semua ke(sok)sibukan saya dulu dengan bersantai-santai ria, mumpung belum ada kerjaan tetap, tapi yang ada saya malah bingung, tidak suka dengan keadaan seperti ini. Dulu, waktu jadwal saya sedemikian padatnya saya jarang merasa capek, lelah, letih, lesuh atau apapun namanya, sampai-sampai teman akrab saya, Dhy terheran-heran melihat ke(sok)sibukan saya yang katanya seperti tidak pernah berakhir. Saya jarang ngeluh, saya jalani semuanya dengan riang gembira, saya menikmati setiap tetes peluh keringat yang membanjiri pipi dan tubuh saya di bawah terik matahari atau di dalam ruangan yang panas. Lantas kenapa sekarang, baru tiga bulan nganggur saya sudah merasa capek, benar-benar capek dengan status saya sekarang yang gak tahu mau dibawa kemana. Ihiks, saya capek di rumah trus, saya gak pengen dengan keadaan saya kayak gini yang seolah tidak berdaya, saya pengen melakukan sesuatu, saya pengen sibuk lagi kayak dulu tapi apa, apa yang harus saya lakukan?
Emang sih saya gak sepenuhnya nganggur, saya masih care sama IMM (my beloved organization). Walau gak pegang amanah lagi di sana, setiap ada rapat atau kegiatan IMM di kampus saya tetap usahakan selalu hadir. Sekalipun saya tahu aktivitas saya itu mengundang protes dari keluarga terutama mama dan kakak. Karena mengira saya sudah sarjana maka menurut mereka seharusnya saya tidak perlu lagi sibuk-sibuk urus organisasi.
Bagi saya IMM sudah saya anggap sebagai keluarga kedua saya di nyata, mana mungkin saya akan meninggalkannya begitu saja setelah jadi alumni. Gak pegang amanah bukan berarti lepas tangan. Setelah LPJ saya diterima pas muscab PC IMM Gowa akhir bulan september kemarin saya malah merasa kembali diberi amanah baru. Kali ini sebagai salah satu yang dituakan, saya punya tanggung jawab untuk mengontrol adik-adik saya di komisariat, untuk terus mengawal perjuangan mereka dalam ikatan. Pun sebagai alumni saya tetap adalah bagian dari mereka, dan selamanya akan menjadi bagian dari IMM.
Selain masih agak sibuk bukan sibuk banget di organisasi, saya juga masih ngajar private di dua rumah tapi privatenya hanya sekali dalam sepekan. Itu pun privatenya just two hours dalam setiap pertemuan otomatis waktu luang saya untuk tidak sibuk baik ngajar maupun ikut kegiatan organisasi lebih banyak dong. Trus kenapa gak cari kerja aja? percuma kan udah kantongi ijazah pendidikan, udah ditambahi gelar espede di belakang nama tapi gak punya kerjaan tetap.
Nah, itu dia... jawabannya tidak akan saya bahas di sini. Saya hanya belum mau membicarakan tentang apapun yang akan saya lakukan di masa depan, karena jujur kemarin-kemarin saya sempat dilanda kebingungan yang hebat. Seolah kehilangan arah, saya tidak tahu harus berjalan kemana. Bahkan mimpi-mimpi yang telah saya genggam saya lepaskan. Saya mulai ragu dengan mimpi-mimpi saya, saya ragu dengan diri saya sendiri, bahkan saya pun mulai mengkhawatirkan kehidupan saya ke depannya. Kekhawatiran yang tak seharusnya terselip. Saya paham itu, amat paham. Hanya saja dalam kebingungan segala macam prasangka berhasil menerjangi saya.
Jika di Kamar Kenangan ini saya sempat menyatakan ketidaksiapan saya sebagai mahasiswa tingkat akhir namun nyatanya kini saya tidak hanya berhasil menaklukkan skripsweet, gelar sarjana pun sudah saya raih, maka seperti perasaan saya kala itu yang telah diracuni berbagai rupa hal-hal yang berbau negatif, rasa yang mirip itu kembali menodongku. Kali ini saya bukan saja tidak TIDAK SIAP, saya juga BINGUNG. Jadi, begini kah rasanya pengangguran. Enak sih enak. Enak banget. Bisa tetap nyantai kapan pun dimana pun namun dengan tekanan perasaan demi perasaan.
Tentu, kepulangan saya nanti tidak akan sama dengan kepergian saya dulu. Tentu, saya harus berbuat sebanyak apa yang bisa saya perbuat, memberi sebanyak apa yang bisa saya beri dengan ilmu dan pengalaman yang saya peroleh selama empat tahun merantau. Tentu, ternyata beban sebagai seorang SARJANA ditambah PENGANGGURAN itu jauh lebih berat ketimbang menyabet gelar sebagai MAHASISWA AKHIR. Saya malah berpikiran seperti ini, sebenarnya telat sarjana dan cepat sarjana sama saja. Sama-sama membuahkan Dilema. Iya nggak?
Namun sebagai orang yang mengaku beriman, saya sadar bahwa jodoh, rejeki bahkan maut itu sudah ditetapkan oleh yang Maha Kuasa. Semestinya tidak ada alasan untuk merisaukan hal-hal yang belum tentu terjadi? Yang terpenting adalah saya hanya tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Saya hanya harus berikhtiar tanpa henti, berdoa tiada ujung kemudian bertawakkal ~ menyerahkan semuanya pada Allah ketika yang diinginkan tidak terpenuhi. Sebab Allah Maha Tahu, Dia tahu kok yang terbaik untuk hamba-Nya.
Lalu apa lagi yang kau risaukan wahai diri?
Toh, ketika saya pernah bilang tidak siap nyatanya saya mampu melewati ketidaksiapan itu. Saya bahkan telah berjalan sejauh ini, sampai pada pijakan dua-dua setelah melewati segala hal yang tidak mudah, banyak rintangan, penuh liku-liku. Insya Allah, perjalanan saya (mungkin) masih panjang. Di depan sana pun bukan tidak mungkin jalan yang akan saya lalui semakin terjal, semakin berliku dan semakin banyak rintangannya. So, bagaimana saya mampu menjalaninya jika tidak mempersiapkan semua itu dari sekarang?
FYI, saya telah berpikir berhari-hari sampai saya menemukan kalimat yang menyatakan bahwa hidup ini indah apabila kita bersyukur. Saya kemudian mencoba mengkorelasinya dengan kehidupan saya sekarang. Kemarin-kemarin saya sempat lho menganggap pengangguran adalah keadaan paling menyedihkan dan saya turut merasa sedih atas diri saya sendiri, tapi akhirnya saya sadar jika pengangguran bagi saya adalah suatu keadaan maka saya harus tetap mensyukurinya. Saya pernah bilang bahwa saya harus bersyukur dalam keadaan apapun, berarti secara tidak langsung saya juga telah mengatakan bahwa saya bersyukur sebagai pengangguran.
Bagi saya syukur itu bukan sekedar ucapan alhamdulillah tapi ia adalah ungkapan hati paling dalam. Syukur adalah cara berterima kasihnya seorang hamba pada Tuhan-Nya yakni dengan mendekatkan diri. Jadi, kalau saya ucapkan alhamdulillah atas kesehatan yang Allah berikan, maka syukur saya adalah bagaimana dengan sehat itu saya bisa dekat sama Allah, jika Allah beri rejeki maka cara saya mensyukurinya adalah bagaimana dengan rejeki itu bisa menghantarkan saya dekat pada Allah.
Alhamdulillah saya akan mensyukuri status pengangguran ini. Setidaknya dengan jadi pengangguran saya punya lebih banyak waktu mendekatkan diri pada Allah. Saya bisa lebih fokus pada-Nya. Sebelumnya sih saya sempat bingung jika ada orang-orang yang melontar tanya "Kamu sibuk apa sekarang"? Tapi sekarang saya tidak bingung lagi karena saya sudah menemukan jawaban yang tepat. Saya memang belum punya kerjaan tetap, bukan berarti saya tidak bisa sibuk.
Hei, saya pengangguran dan saya sekarang sangat sibuk. SIBUK MENATA HATI, SIBUK MEMPERBAIKI DIRI, SIBUK MENGINGAT MATI :)
Buat kamu calon pengangguran, pengangguran baru, ataupun pengangguran lama semoga status tersebut tidak membuat kita lalai ya? Ambil positifnya saja. Tuhan sepertinya sedang memberi kita banyak waktu luang untuk bersama-Nya, lalu kenapa kita harus bersedih hati, berkeluh kesah dan merutuk diri. Jika dengan menjadi pengangguran bisa bikin diri mulia, kenapa kita tidak belajar mensyukurinya. Jika dengan menjadi pengangguran bisa bikin diri dekat sama Tuhan kenapa kita tidak memanfaatkannya sebaik mungkin. Boleh jadi pintu-pintu rejeki itu akan terbuka ketika kita berhasil membangun hubungan yang baik sama Tuhan. Boleh jadi pengangguran pun bisa membawa berkah
*Catatan ini ditulis sebagai pengingat diri #selfreminder
2 komentar untuk "Beginikah Rasanya Pengangguran"
Tapi kalo dipikir-pikir sih, menganggur itu juga bisa banyak manfaatnya, selain mendekatkan diri kepada-Nya seperti yang kak Zhie tulis di atas, kita juga bisa melakukan hobi. Membaca kek, menulis kek, dan itu seharusnya bisa bikin kita kian produktif. Tapi kalo kelamaan juga bosen, hehe...
Moga Kak Zhie bisa makin bersyukur dan makin bersyukur lagi, karena kenikmatan sungguh akan dilipatgandakan bagi orang-orang yang bersyukur! ^^ Nice post kak..
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.